Thursday, March 30, 2006

My inspirations sources


Explorationist bukanlah manusia yang diberkati mengerti tentang fenomena alam. Mereka manusia biasa juga mereka memerlukan isnpirasi mereka membutuhkan ide. Kata penyair Polandia peraih Nobel Sastra tahun 1996 Wislawa Szymborska, inspirasi baginya datang dari ketidaktahuan yang terus menerus dan proses inipun berulang-ulang, sehingga menumbuhkan keingintahuan.

Munculnya ide ketika mengolah dan menginterpretasi sebuah data juga akan tiba-tiba dan sering tak terduga. Seperti Newton, yang katanya mendapat ide ketika kejatuhan apel. Peristiwa tak terduga yg akhirnya membawa ke teori gravitasi dan membuaka cakrawala dunia. Hal yang sama dengan Archimedes yg tiba-tiba melonjak keluar dari tempat berendamnya. Peristiwa ini kalau dilihat sepintas sepertinya memalukan, berlari-lari masih dalam keadaan telanjang, namun membuat sebuat teori apungan benda. Apakah mereka-mereka ini duduk diam saja ? Tentu tidak .... keingintahuan yg terus menerus dan berulang inilah yg menimbulkan ide dan inspirasi.

carilah inspirasi !
berulang-ulang !

my inspirations sources

- My Mother
She gives me life, she have done great job
then I was here
- My Wife
She gives me love, she gives me spirit
then she controls my path
- My Dreams
'She' directs my future
then ...

Tuesday, March 28, 2006

Surat Terbuka Buat Rizal Malarangeng

Komentar saya atas tulisan beliau di Mailist Islam Liberal
Mas Rizal yang baik,

Selamat atas "kesuksesan" anda. (maaf masih dalam "tanda kutip" karena saya terpaksa menganggap ini masih wacana pribadi anda yg menyatakan sukses).

Sudah sejak awal (ketika dioperasikan HUMPUSS) saya melihat bahwa Cepu ini sudah kontroversial. Awalnya kontrak daerah ini berupa sebuah kontrak TAC (Technical Asiistant Contract), adalah kontrak yang pada kontrak2 sejenis lainnya/sebelumnya isinya berupa bantuan dalam proses produksi, bukan eksplorasi. Namun saya ndak tahu apa sebabnya tiba-tiba HUMPUSS melakukan kegiatan eksplorasi. Pada waktu itupun saya sebagai praktisi di Migas di Indonesia cukup bangga karena "ada" perusahaan nasional yg "berani" melakukan eksplorasi. Walaupun "cara" mendapatkan daerah konsesinya dengan fasilitas. Which is OK to me, lah masih "anak-anak" kan wajar kalau dapet subsidi "uang jajan".

Namun perjalan sejarah berikutnya berubah lain lagi. Blok ini entah bagaimana "berubah" menjadi PSC dan ini tentusaja mengundang pertanyaan dan menjadi delik khusus, apakah bisa kontrak berubah. Dan fenomena inipun dipertanyakan oleh salah satu BOD IPA (Indonesian Petroleum Associacion).

Yang ingin saya garis bawahi adalah adanya "kejadian" perubahan kontrak. Bisa jadi kontrak baru ini bagus (entah versi siapapun), namun yg saya sayangkan sepertinya ada "pelanggaran" komitmen awal. Dimana menurut saya komitmen awal harus diseleseikan dulu. Dan sepertinya kelemahan org Indonesia ini adalah mempertahankan komitmen.
Dan anda tahu kan, bahwa komitmen daerah ini yg seharusnya berenti tahun 2010. Namun saya heran kenapa anda menyatakan Indonesia akan menikmati hasil setelah 2012 itupun "kalau memenangkan" arbitrase. Bukankah kontrak TAC dengan humpus yg berubah ke PSC ini akan berakhir dengan sendirinya tahun 2010 ? Dan perpanjangan kontrak bukanlah sebuah "keharusan" ? Mengapa anda takut ada arbitrase ?

PSC (Production Sharing Contract) pada prinsipnya mirip BOT (Build Operate and Transfer), mirip membangun jalan Tol. Artinya pada akhir kontrak harus ditransfer dulu ke "host country", perkara nantinya diperpanjang lagi itu tidak apa-apa, apalagi kalau menuntungkan kedua belah pihak. Tetapi menganggap bahwa perpanjangan kontrak sebagai sebuah keharusan yg bisa menuai badai arbitrase menurutku logika yang "salah besar". Karena menyalahi ide dasar BOT diatas. Walopun ternyata jalan Tol yg juga BOT-pun ndak dikembalikan juga ke negara ya :) ... ok ini perkara lain.
Perpanjangan kontrak yg belum berakhir karena diburu-buru ini tidak hanya Kontrak Cepu. Bahkan kontrak Freeport dulu juga diperpanjang sebelum masa kontrak berakhir. Ini yang harus diperhatikan Mas Rizal. Bahwa memperpanjang kontrak yg masih jauuuh akan berakhir seringkali "menjebak". Jadi saran saya seleseikan dulu kontrak baru diperpanjang setelah dikembalikan. Kan wajar to ?

Mas Rizal, saat ini saya bekerja di Kuala Lumpur, Malaysia. Dan saya punya kesempatan banyak melihat bagaimana industri migas Malaysia melalui Petronas-nya berkembang pesat. Sistem PSC mereka diadopsi dari PSC Indonesia, namun modifikasi yg dilakukannya sangat canggih. Silahkan mampir di blog saya ( rovicky.blogspot.com ), saya menguraikan panjang lebar tentang perbandingan PSC Indonesia dan Malaysia. Dimana salah satunya adalah Malaysia menjalankan PSC ya persis sistem BOT. Yaitu semua kontrak PSC yg habis dikembalikan ke Petronas dan dikelola sendiri oleh Petronas. Dan jangan kaget saat ini ada 150 Geoscience dan Engineer Indonesia yg bekerja di Kuala Lumpur. Hampir semua project Petronas pasti "dihiasi" oleh GGE Indonesia. Jadi bukan hanya TKI pembantu dan buruh saja yg ada di Malaysia.

Nah ada tiga point yg ingin saya sampaikan mas Rizal.
- Bahwa ide BOT dijalankan dengan baik di Petronas sehingga Petronas dapat "belajar" mengendalikan sendiri perminyakannya. Dan GGE Indonesia telah kehilangan Cepu sebagai ladang belajar.
- GGE Indonesia ini sudah mampu mengelola lapangan minyak. Dan ini justru diakui oleh Petronas namun justru tidak diakui di dalam negeri, bahkan tidak diakui oleh pemerintahnya sendiri (paling tidak secara tak langsung).
- PSC term tidak hanya masalah "fiskal". Split kadang kala tidak berarti banyak dalam longterm production. Ketahuilah kita hanya sukses menjalankan PSC generasi pertama saja. Dimana plateu production kita ini hanya ertahan 20-30 tahun sejak PSC dicanangkan. Artinya hanya satu kali periode kontrak PSC.


Nah kembali soal Cepu Blok. Saya tahun kemarin (2005) pernah membuat seminar bersama teman-teman di Indonesia lewat IAGI-HAGI (Ikatan Ahli Geologi Indonesia - Himpunan Ahli Geofisika Indonesia). Pada waktu itu yg saya katakan hanyalah soal kemampuan orang Indonesia mengelola Cepu. Mengapa saya berkonsentrasi disini karena rasa bangga dan diakui mampu impaknya ternyata sangat besar. Memang tidak instant seperti yg Mas Rizal katakan "untuk saat ini" yg mampu membuat sekolahan dan puskesmas. Ungkapan ketidak mampuan Indonesia mengelola Cepu inilah yg "menohok urat malu" teman-teman saya di HAGI dan IAGI. Sehinga mereka merasa dipermalukan dengan ungkapan tidak mampu sebagai pengelola lapangan minyak.

Barangkali bener kata anda bahwa mereka masih cerewet dan merengek2, namun ya inilah kondisi bangsamu Mas Rizal. Anda barangkali sudah berjalan terlalu maju kedepan. Namun pelajaran yg saya ambil dari Malaysia justru sebaliknya dengan anda. Mereka (pemerintah Malysia) saat ini sedang "melindungi" Mobil Nasionalnya Proton, dengan menurunkan harganya sekitar 2-3 %. Hanya satu alasan logis yg saya rasakan, untuk meningkatkan kebanggan rakyat menggunakan mobil bikinannya dan sebagai Bangsa Malaysia. Nah anda yg dalam posisi sebagai negosiator justru memposisikan bangsa sendiri dalam posisi dibawah. Wah nyesel saya Mas Rizal ... maaf.

Ya, Saya saat ini juga tidak akan berkepanjangan memikirkan soal Cepu ini lagi. Karena saya barusaja menemukan kembali "harta karun" negara saya berupa cadangan geothermal yg cadangannya merupakan 40% cadangan dunia, dan nilainya setara dengan 8 milyar BOE, bandingkan dengan cepu yg hanya 500-700 juta barrel. Nah saya aprreciate kalau anda masih ingin berkutet sebagai negosiator didalam sektor geothermal ini. KArena energi geothermal ini hanya bisa diubah menjadi listrik sehingga relatif "aman" tidak dijarah negara2 yg rakus energi.
Nah, Mas Rizal kalau memang anda bener mau sukses, tolong Energi Geothermal ini "dikawal" lagi ya ...

Salam

Rovicky Dwi Putrohari
Geologist Indonesia
Anggota : IAGI-HAGI-IPA

--- In islamliberal@yahoogroups.com, "Rizal Mallarangeng" wrote:

Blok Cepu, Mission Accomplished

Oleh Rizal Mallarangeng



Kesepakatan Blok Cepu adalah sebuah prestasi tersendiri dalam sejarah perminyakan Indonesia. Seharusnya kita merayakan keberhasilan itu dan kemudian memikirkan bagaimana potensi penghasilan tambahan yang cukup besar bagi negara dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat. Sayangnya, sudah menjadi kebiasaan kita belakangan ini untuk melihat sisi negatif dari semua hal dan membesar-besarkan kemungkinan buruk yang bisa terjadi di masa depan. Kita menjadi bangsa yang pesimistis, perengek sekaligus cerewet, dengan horizon yang tak lebih jauh dari apa yang tampak di depan hidung.
Itulah kesan yang saya peroleh dari kalangan yang menentang kesepakatan Blok Cepu. Sebagian bahkan memakai argumen-argumen nasionalisme yang sudah usang, dan mengajak kita untuk kembali lagi ke suasana tahun 1950an dan 1960an. Sebagian lagi, seperti Kwik Kian Gie, bahkan pernah berkata bahwa kita harus menunjuk Pertamina sebagai operator Blok Cepu, berapa pun ongkosnya, seolah-olah dengan begitu kita berada dalam dunia hitam-putih, di mana yang satu adalah simbol segala kebaikan dan sikap pro-rakyat, sementara yang satunya lagi merupakan simbol segala keburukan dan anti-rakyat. Perusahaan asing pasti merugikan kita, sementara perusahaan negara pasti sebaliknya.

Kita hanya bisa mengurut dada terhadap argumen semacam itu. Zaman terus berubah dengan cepat, tetapi pikiran sebagian orang ternyata senantiasa berjalan di tempat. Prof. Clifford Geertz harus meneliti sekali lagi di Indonesia, dan menulis buku berjudul The Involution of Mind in Jakarta.

Agar tidak simpang siur berkepanjangan dan menghabiskan energi politik yang tidak perlu, saya ingin mengingatkan kita bahwa salah satu soal fundamental ekonomi Indonesia berhubungan dengan minyak bumi. Pada tahun 1970an dan pertengahan 1980an, harga minyak membubung tinggi dan kita bersorak kegirangan karena adanya bonanza minyak. Hasilnya, antara lain, adalah puluhan ribu SD inpres, puskesmas, jalan raya, dan tambahan ribuan
guru.
Sejak dua tahun lalu harga minyak meroket lagi, bahkan mencapai rekor di akhir tahun lalu. Tapi kita justru menjerit. No bonanza, only pain and desperation. Anggaran tercekik, subsidi harus dipangkas, beban hidup masyarakat bertambah.

Mengapa? Jawabnya sederhana. Pada zaman Pak Harto produksi minyak kita jauh berada di atas tingkat kebutuhan domestik. Pada 1977, misalnya, Indonesia memproduksi 1.6 juta bph (barel per hari), sementara kebutuhan domestik hanya sekitar 0.25 juta bph. Selisih seperti itulah yang kita nikmati dan menjadi penggerak pembangunan ekonomi di zaman Orde Baru,
terutama dari awal 1970an hingga pertengahan 1980an. Sekarang selisih demikian sudah menguap, malah kita sudah tekor. Kebutuhan domestik terus bertambah, sementara produksi minyak cenderung konstan, bahkan sejak 1998 terus mengalami penurunan.
Dalam posisi seperti ini, melambungnya harga minyak jelas bukan lagi rahmat, tetapi tohokan yang tepat di ulu hati.
Kondisi seperti itulah yang menjadi latar belakang perundingan Blok Cepu, yang memicu pemerintah untuk segera menghidupkan kembali proses negosiasi yang telah terbengkalai selama lebih lima tahun. Jika dikelola dengan baik blok ini mampu memompa minyak dalam jumlah yang cukup fantastis untuk ukuran kita, yaitu sekitar 20 persen kapasitas produksi nasional. Dengan ini kita akan bisa kembali menjadi net exporter, dan menggunakan hasilnya demi kemakmuran rakyat.
Dari perhitungan kasar, nilai produksi yang dapat diperoleh dalam sepuluh tahun pertama bisa mencapai Rp 200-300 triliun, atau sekitar Rp 25 trilun per tahun. Berapa sekolah, rumah sakit dan fasilitas publik yang dapat dibangun dengan duit sebanyak itu setiap tahun?
Karena itu, setiap pemerintahan yang bertanggung jawab harus mengupayakan agar perundingan ini sukses dan tidak bertele-tele. Jika gagal, kita harus menunggu lagi hingga 2010, yaitu berakhirnya masa kontrak Exxon, dan baru bisa menikmati hasil dari Blok Cepu paling cepat pada 2012, itu pun jika kita mampu memenangkan perkara ini di pengadilan arbitrase internasional.
Pada saat memulai negosiasi dengan pihak Exxon, Tim Negosiasi dihadapkan pada banyak persoalan. Tetapi dari semuanya, hanya tiga persoalan yang fundamental, yaitu participating interests (PI), pembagian hasil atau split (PH) dan operatorship. Dari ketiganya, dua faktor pertamalah yang paling berpengaruh terhadap jumlah dana yang diterima oleh negara atau pihak Indonesia, yaitu pemerintah pusat, pemerintah daerah dan Pertamina. Perlu pula diketahui bahwa awal perundingan tidak bermula dari kertas kosong yang putih bersih. Sebelum Presiden SBY terpilih, telah ada kesepakatan awal dalam dokumen HoA (Head of Agreement) yang telah diparaf antara pihak Exxon dan Pertamina. Dalam dokumen ini telah diatur, antara lain, pembagian PI masing-masing pihak, yaitu Exxon 50 persen, Pertamina 50
persen, dan dengan PH 60:40. Dengan ini, jika produksi telah dimulai, pembagian hasil di ujungnya adalah pemerintah pusat 60 persen, Pertamina 20 persen (50% x 40), Exxon 20 persen. Artinya, pihak Indonesia akan memperoleh 80 persen perolehan di Blok Cepu dan sisanya buat Exxon (20 persen).
Tanggung jawab yang dibebankan kepada Tim Negosiasi adalah penyelesaian perundingan secepat-cepatnya dengan hasil yang maksimal buat negara. Karena itu harus dicari jalan agar hasil perundingan sekarang jauh lebih baik ketimbang hasil negosiasi sebelumnya sebagaimana yang tergambar dalam HoA di atas. Dan sebagaimana umumnya setiap proses negosiasi, yang terjadi adalah proses tawar-menawar, ulur-mengulur, bahkan gerak-menggertak.
Singkat kata, setelah proses negosiasi yang alot selama kurang lebih setahun, hasil perundingan ini sudah kita ketahui bersama. Dalam komposisi PI kini pemerintah daerah memperoleh 10 persen yang didapat secara proporsional dari Exxon dan Pertamina. Yang drastis adalah pada pola PH: sistem adjusted split diperkenalkan, di mana pihak Indonesia secara keseluruhan memperoleh hasil yang jauh lebih besar ketimbang sebelumnya, yaitu 93.25 persen pada harga minyak saat ini. Kalau toh harga minyak melorot ketingkat sangat rendah, katakanlah USD 30 per barel, kita masih menikmati porsi yang besar, yaitu 86.5 persen. Artinya, perolehan Exxon
berhasil kita turunkan lumayan drastis, dari 20 persen menjadi 6.7-13.5 persen. Itu sebabnya seorang kawan saya yang ahli perminyakan berkata bahwa kesepakatan akhir Blok Cepu adalah salah satu deal terbaik yang pernah ada dalam dunia energi di Indonesia.
Tentu, setelah meraih sukses besar pada dua isu sekaligus (PI dan HP), kita tidak mungkin seenaknya menuntut dengan mutlak pada isu penting lainnya, yaitu operatorship. Kompromi harus dilakukan, sejauh masih dalam batas yang wajar dan mendukung tujuan besar kita untuk kembali menjadi net exporter dan menggunakan hasilnya demi kesejahteraan rakyat.
Pemahaman seperti itulah yang pada akhirnya menelurkan konsep joint operatorship, yang membagi kewenangan operasi secara bertingkat, dengan perwakilan masing-masing pemilik PI secara proporsional dalam menentukan kebijakan besar di lapangan. Dalam prakteknya Exxon yang akan bertindak sebagai manager umum, namun dalam melakukan aktifitasnya harus menyertakan Pertamina.

Dengan semua itu, Pertamina memiliki peluang emas untuk meningkatkan kinerjanya. Perusahaan berplat merah ini akan memperoleh tambahan pendapatan yang besar (perolehan buat Exxon persis sama dengan perolehan buat Pertamina) serta rekan kerja kelas dunia dengan kemampuan teknologi dan finansial yang sulit ditandingi oleh siapa pun saat ini (Exxon adalah perusahaan dunia terbesar). Singkatnya, Pertamina saat ini memperoleh momentum untuk tumbuh lebih baik dengan memanfaatkan peluang yang sekarang terbuka.
Jadi secara keseluruhan, sebagai seseorang yang pernah terlibat dalam Tim Negosiasi, saya merasa bangga bahwa pada akhirnya perundingan yang melelahkan itu dapat berakhir dengan baik dan memuaskan kita. Lima tahun lebih sumberdaya alam kita di Blok Cepu disandera oleh ketidakpastian dan kekaburan prioritas. Kini semua itu telah menjadi bagian masa lalu. Pada
akhirnya kita bisa berkata bahwa kita masih memiliki akal sehat. Mission accomplished.

Kembali ke kalangan penentang yang saya singgung di atas tadi, terus-terang saya agak kesulitan dalam mengikuti alur berpikir mereka. Sebagian dari kalangan ini hanya melihat pada satu isu, yaitu operatorship, tanpa mau mengerti sedikit pun tentang konteks persoalan besar yang melibatkan isu-isu penting lainnya.
Sebagian lainnya hanya berkutat pada isu yang sebenarnya agak diputar-balikkan, yaitu cost-recovery. Seolah-olah dalam soal ini hanya pihak Exxon yang menentukan biaya operasi dan pasti akan terjadi kerugian negara dalam jumlah yang fantastis. Mereka tidak pernah mau mengerti bahwa soalnya tidak semudah itu: dalam mekanisme operasi Pertamina terlibat aktif
serta dalam proses pengawasan biaya akan ada pemeriksaan yang berlapis-lapis.
Namun yang paling lantang terdengar adalah suara-suara nasionalisme sempit dengan sejumlah tuduhan miring, yang seolah membenarkan sebuah ungkapan dari Dr. Samuel Johnson, nationalism is the last refuge of scoundrels.

Terhadap semua itu, saya hanya bisa berkata bahwa Indonesia bisa menjadi bangsa yang besar hanya dengan membuka diri, memanfaatkan kesempatan yang dibuka oleh zaman ini, serta secara kreatif belajar dari mereka yang sudah terlebih dahulu menjadi bangsa yang maju.
Masalahnya bukan terletak pada kebanggaan atau kepercayaan terhadap satu atau beberapa perusahaaan milik negara. Soalnya lebih terletak pada pilihan prioritas dan keberanian untuk memilih.
Lewat negosiasi Blok Cepu, pemerintah telah menetapkan dan memilih prioritas. Hasil yang diharapkan pada akhirnya adalah percepatan peningkatan kesejahteraan rakyat. Jika ini terjadi, di situlah letak kebanggaan kita yang sesungguhnya sebagai sebuah bangsa.

--- End forwarded message ---

Sunday, March 26, 2006

Explorationist

Didalam sebuah perusahaan hulu migas ada seorang yg tugasnya mencari atau menemukan lokasi dimana akan ada minyak, mereka disebut explorationist yg seringkali berpendidikan dasar geologi atau geofisika. Memandang seorang explorationist kadangkala rada aneh. Lah gimana ndak aneh .... yang ada dibenak si "explorationist" ini tidak sama dengan apa yg mereka lihat. Apa yg dipikirkan selalu saja mendahului apa yg dijumpai. Dan dia akan menceriterakan serta menggambarkan impian lebih dominan dari apa yg dia lihat. René François Ghislain Magritte (1898 - 1967) seorang pelukis surrealis kelahiran Belgia telah menggambarkan cukup pas bagaimana seorang ahli geologi eksplorasi memandang sebuah seismik atupun memandang sebuah peta.

Tuntutan seorang geologist yang bekerja menjadi explorationist ini memanglah demikian adanya. Dia akan senantiasa bermimpi dari sesuatu yg masih sangat mentah, sesuatu yg masih berupa raw material menjadi sebuah bahan yg siap pakai. Ketika melihat sebuah kecambah dia sudah berpikir memetik buahnya. Ada satu kalimat terkenal untuk seorang explorationist minyak "Oil is first found in the mind" (Wallace Pratt's 1952).

Tanpa berpikir "nanti bakalan anu ..." maka mustahil minyak itu akan diketemukan. Makanya seorang explorationist kadangkala bertingkah sepeti ahli nujum ... wupst !

I have a dream !

Saturday, March 25, 2006

Jumlah sumur yg diperlukan mengetest Play

Tentunya kita tidak dapat selamanya mengejar sebuah kemungkinan adanya jebakan dalam sebuah rangkaian jebakan (play fairway). Ada kalanya kita harus meninggalkan.
As an explorationist we have to know when to pursue the prospects, and when to quit.
Nah tentunya ada perhitungannya. Berapa jumlah sumur yg diperlukan untuk meyakinkan bahwa kita sudah mengetest sebuah "Play fairway" ? Boleh jadi konseptual Play fairway itu benar (sukses dan discovery) ataupun gagal (failed and dry).
Tentunya tergantung dari "geological risk" dari play itu sendiri. Nah kalau saja risknya POS (Possiblity of Success) suatu Play adalah 20%, maka berapa jumlah sumur yg diperlukan utk meningkatkan keyakinan hingga "Pretty Sure" (70%) atau "Very Sure" (95%) ?

Ada yg tahu ?

answer ?
Pendekatan statistik dapat dilakukan untuk menghitung jumlah sumur yg diperlukan utk "meyakinkan". Tergantung berapa nilai yakin yang kita inginkan. Saya memberi contoh seandainya kita sebut "pretty sure" sebagai 70% yakin dan "very sure" adalah 90% yakin.
POS adalah Probability of success = 1-Risk

Pendekatan statistik ini akan menunjukkan jumlah sumur lebih banyak yg diperlukan untuk memberikan keyakinan "failed" sebelum angkat kaki dari daerah tersebut.

Mengapa ?
Pendekatan statistik ini tentunya akan jauh berbeda dengan pendekatan deterministik. Misalnya kita langsung drill source rocknya, dan seandainya dijumpai source rock yg tidak matang atau tidak ada sama sekali maka akan dikatakan "very sure" hanya dengan satu sumur saja. Atau kalau tidak ada reservoir sama sekali kita bisa langsung mengubah nilai propability of success (POS). Dimana probabilitas selanjutnya akan menjadikan patokan sumur berikutnya. Itulah sebabnya semua kegiatan eksplorasi migas tidak melulu dilakukan berdasarkan atas pertimbangan probabilitas yang akan mengesankan judi. Dan pada kenyataannya di Indonesia ini secara statistik memiliki nilai kesuksesan eksplorasi diatas 10%, seperti yg ditulis sebelumnya disini.
Dan disinilah peran geologist atau explorationist mengurangi jumlah sumur yg diperlukan seorang gambler. Geologist (explorationist) mengurangi jumlah sumur yg diperlukan sesuai dengan kaidah ilmiah akademis.

hef e nais dey

Note : Saya mendapatkan ilmu ini ketika belajar atau "ngenger" di Shell Brunei.

Thursday, March 23, 2006

Soal PSC di Indonesia : Kemudahan yg akhirnya menyulitkan

Kemudahan yg akhirnya menyulitkan.

PSC di Indonesia ini banyak memberikan kemudahan dalam memotong-motong daerah operasinya sehingga bentuk daerah operasi ini menjadi sangat rumit, pelik, dan pada akhirnya mengurangi efisiensi atau merupakan pemborosan.

Coba lihat bentuk-bentuk daerah operasi yang ada di Jawa Timur ini. Bayangkan saja berapa kali harus dilakukan revisi peta ini karena adanya first relinguishment dan second relinguishment dan final relinguishment. Artinya terjadi perubahan cukup cepat dalam peta tersebut. Berapa kali perusahaan atau operator2 lainnya juga harus menyesuaikan mengupdate peta yg dimilikinya sehubungan dengan perubahan daerah operasi ini. Dalam satu tahun mungkin di Jawa Timur akan terjadi 3-5 kali perubahan bentuk daerah operasi perusahaan-perusahaan yg ada di region ini. Apakah perubahan ini menunjukkan aktifitas eksplorasi ? Nah ini yg perlu difikirkan. Mengembalikan daerah ini dapat diartikan sebagai pengkonsentrasian lokasi daerah prospek untuk kegiatan eksplorasi selanjutnya. Namun tanpa harus mengembalikan daerahpun operator daerah eksplorasi ini tetap akan berkonsentrasi ke daerah tersebut. Namun kewajiban pengembalian daerah di tengah-tengah kegiatan eksploarsi yg melelahkan ini justru terasa "dipersulit" oleh "tugas" baru, yaitu memilih daerah yg tidak prospek untuk dikembalikan ke negara tuan rumah (house country). Dimana daerah pengembalian inipun tidak langsung dibuka atau ditawarkan sebagai daerah yg masuk dalam open/offering tender area, artinya sebenernya kegiatan explorasi lokasi ini terhenti dengan sendirinya.

Dalam pengembalian daerah operasi tidak ada ketentuan yg mengikat mengenai bentuk daerah yg akan dikembalikan, syarat utama yg sering menjadi pertimbangan hanyalah luas daerah yg dikembalikan. antara 20-30 % dari original PSC area. Namun bentuk serta titik-titik sudut yang akan dipakai dalam "memotong" daerah ini tidak diatur. Dengan demikian "seolah-olah" ada kemudahaan (keleluasaan) operator dalam melakukan "pemotongan" daerah. Namun pada akhirnya justru mempersulit mereka sendiri baik si operator maupun host country dan perusahaan-perusahaan lain disekitarnya, dan ini jelas akan mengurangi efisiensi kerja serta membebani pikiran para explorer.

Kemudahan (kelonggaran) aturan pengembalian ini terasa bermanfaat ketika memilih daerah yg akan dipertahankan, seringkali daerah-daerah yg masih dianggap prospek ini tidak memiliki bentuk sederhana. Coba tengok gambar diatas (klick gambar utk memperbesar). Banyak daerah terpencil (inlier) yg tidak ada lapangannya hingga saat ini (sejak final relinguishement), sangat mudah diduga disitu terdapat struktur yg "ditahan" oleh operator. Namun ternyata terbukti tidak dilakukan pengeboran hingga daerah konsesi itu harus dikembalikan karena masa produksinya berakhir. Tentusaja hal ini "merugikan" negara tuan rumah (host country).

Ada saran yg mungkin dapat dilakukan oleh Indonesia sebagai host country mengenai hal ini.

- Satu kali pemotongan saja
Pemotongan (relinguishment) sebaiknya dilakukan satu kali saja dalam masa eksplorasi. Hal ini akan menghemat tenaga dan biaya yg dikeluarkan oleh operator yg pada akhirnya akan di bayar dengan cost recovery apabila daerah tersebut dinyatakan komersial.

- Menggunakan grid
Penggunaan grid akan memepermudah pemotongan. Jarak antar titik-titik grid ini dapat ditentukan berdasarkan stadia dari cekungan atau daerah yg bersangkutan. Cekungan yang sudah matang (mature basin, ie: Sumatra Utara, Tengah dan Selatan, Jawa "onshore-offshore", Kalimantan Timur "onshore-offshore" dll) akan lebih kecil ukuran gridsizenya dibanding daerah yg masih frontier (immature basin, ie: Arafura shelf, Deepwater area dll)
Hal ini dilakukan semata-mata mengantisipasi ukuran dari lapangan serta "play fairway" yg ada di daerah2 yg berbeda stadia eksplorasinya.

- Hanya field area yg boleh dipertahankan
Seperti yg diuraikan dalam tulisan sebelumnya tentang perbandingan PSC Indonesia dan Malaysia, maka hanya daerah yg merupakan batas lapangan saja yg dapat dipertahankan selama masa produksi.

Saran yang lain adalah penyediaan data digital dari Host Country dalam format X-Y yg dapat didonload gratis dan mudah. Dengan demikian tidak ada biaya-biaya lagi yg akan dikeluarkan oleh operator-operator ini yg pada akhirnya akan "cost-recovery" atau dibayar oleh negara. Diperkirakan akan memerlukan 2 mandays cost utk membuat peta konsesi ini. Dan setiap perubahan mungkin akan memakan biaya setengah hari kerja. Nah kalau dikalikan jumlah perusahaan yg memerlukan peta ini tentusaja jumlah yg dibayar oleh negara karena cost recovery semakin besar.

Wednesday, March 22, 2006

Mengapa perlu investor yang "persistent" ?

Bisnis migas sering dikatakan sebagai bisnis berisiko, namun bisnis ini secara ekonomi jelas-jelas sangat menguntungkan. Apakah ada unsur gambling atau judi dalam bisnis ini ?

Nah coba kita tengok, katakanlah sukses rasio (secara statistik) dalam pengeboran eksplorasi (exploration drilling) adalah 1:10 (10 sumur eksplorasi akan menghasilkan satu yang sukses). Sedangkan kalau usaha ini sukses maka keuntungannya bisa mencapai 15-20 kali lipat. Artinya kalau biaya satu sumur sebesar 10juta dolar dan perusahaan memiliki jumlah uang lebih dari 100juta dollar (tidak terbatas), maka drilling eksplorasi sebanyak 10 kali secara "random" maka kita akan mendapat satu sumur yg sukses (by statistical chance). Katakanlah biaya mengebor satu sumur itu sepuluh juta dollar, maka biaya yg dikeluarkan akan mencapai 100 juta dollar, namun karena keuntungan dalam dari satu sumur ini saja bisa mencapai 15 kali artinya kita akan memperoleh 150 juta dollar. Seolah-olah keuntungan kita sudah "pasti" 50 juta dolar, kan ?

Kalau memang ada "kepastian" keuntungan mengapa kita tidak lakukan sendiri ?
Nah disini kita dapat bermain-main.
Dengan biaya pengeboran (eksplorasi) sebesar 10juta dollar persumur, maka dengan jumlah uang lebih dari 100juta dolar saja yang akan memperoleh "kepastian" untung. Sedangkan yg kita miliki ternyata hanya 20 juta dollar. Artinya kita pasti akan quit from the bisnis ketika mengebor 2 sumur saja, karena gagal, chance kita sangat kecil dengan jumlah uang yang kecil. Nah kalau berhasil maka kita untung, sedangkan kalau gagal duit 20 juta dollar amblas begitu saja.
Itulah sebabnya banyak yg bermain "judi" ini dengan "berkongsi" sebagai sarana berbagi risiko (sharing risk). Dengan lima orang yg bermodal sama, maka mengebor 10 sumur akan sangat dimungkinkan sehingga kita akan memiliki "kepastian" tinggi akan untung dengan bisnis eksplorasi migas ini.

Bagi negara yg tidak memiliki modal seperti Indonesia maka tentu saja memerlukan modal dari luar (investor) untuk melakukan usaha eksplorasi. Modal ini dapat saja berasal dari dalam negeri, dapat pula modal berasal dari luar negeri. Nah sayangnya pemodal didalam negeri ini masih sedikit yang berani menaruh (mempertaruhkan) uang sebesar 100juta sebagai modal mengebor 10 sumur. Sehingga seolah-olah bisnis migas ini "terkesan" high risk. Padahal kalau modalnya tidak terbatas bisnis ini boleh dibilang "tidak berisiko", karena kepastian (probabilitas) akan untung sangat besar (mendekati 1 -> pasti).

Apakah ini berjudi ?
Seandainya saja kita hanya memiliki modal untuk melakukan pengeboran 3 sumur saja, maka ada usaha mengurangi risiko dengan studi geologi/geofisika, diharapkan geologist akan lebih "titis" (pandai dalam menebak) ketika memilih lokasi sumur pengeboran, sehingga tidak perlu 10 sumur dalam mencapai "kepastian" untung. Artinya diusahakan supaya sukses rasionya tidak lagi 1:10 tetapi mungkin diharapkan 1:5 (20% kemungkinan sukses). Disini "succes chance"nya sudah berubah, sehingga modal yg dipakai tidak lagi harus 100juta. Yang terjadi disini adalah usaha menekan risiko, dari untung-untungan yang "random" berubah menjadi mengandalkan otak geologist. Namun modal kita tetap hanya mampu mengebor 3 sumur, padahal untuk success chance 20%, kita memerlukan 5 sumur secara random dibor (nanti akan saya tuliskan bahwa sebenernya 5 sumurpun belum mendapat kepastian, note rdp). Nah akhirnya hanya dengan mencari partner atau pemodal lain untuk membiayainya (sharing risk) maka proyek ini akan visible untuk dijalankan.

Nah kalau modal kita kecil supaya tidak "terkesan berjudi" dalam bisnis migas ini ya harus dilakukan dengan berkongsi (partnering) sebagai ajang berbagi risiko.

Nah mengapa kita memerlukan investor yg "persistent" ?
"Persistent" didefinisikan sebagai sikap yg konsisten dan kontinyu melakukan sesuatu dengan kesabaran. Artinya tidak dengan mudah berputus asa. Mengapa hal ini perlu dalam bisnis migas yg berrisiko ini ? karena pada dasarnya ketika melakukan eksplorasi awalnya sekali gagal, kemudian dua kali gagal, tiga kali gagal dst ... tentunya akan memiliki batas sehingga menentukan untuk "quit from the game" atau keluar dari daerah ini. Sebenarnya yang terjadi adalah adanya "learning proccess" dalam melakukan eksplorasi. Ketika gagal dalam sumur kedua, maka sumur ketiga "seharusnya" memiliki chance yg lebih besar ketimbang sumur pertama demikian seterusnya, artinya "learning proccess" ini akan mengurangi risiko untuk "next well". Namun kalau perusahaan yg melakukan eksplorasi ini mudah putus asa (tidak persistent), maka pemain baru akan memulai lagi dari awal. Artinya pergantian pemain akan menyebabkan "stepping back of the local knowledge". Itulah sebabnya di Malaysia ( duh lagi-lagi malaysia sih :( ) eksplorasi yang dilakukan shell di daerah Sarawak dan Sabah, cukup sukses, sedangkan di daerah Peninsular dilakukan oleh Esso. Kedua perusahaan ini sukses menjadi operator di kedua daerah ini. karena merekalah yg memilki local knowledge. Tentunya ada titik jenuh juga suatu saat. Namun dengan sistem pengembalian daerah yg ditulis sebelumnya tentang perbandingan PSC Indonesia dan Malaysia, menjadikan kontinuitas eksplorasi di Malaysia cukup bagus perforemancenya.

Jadi jangan buru-buru putus asa.
Statistik dapat membantu kapan saat yg tepat utk mundur.

N ote :
- "Persistent" : existing for a long or longer than usual time or continuously (Webster).
- Angka-angka 1:10 diatas hanya sebagai gambaran saja, namun real case mirip seperti yang ditulis diatas.
- Perhitungan ekonomi tentunya tidak sesederhana ini, karena nantinya ada banyak indikator ekonomi (ie ROI, ROR, NPV, EMV dan lain-lain).
Tambahan diskusi di comment berikut :

Tuesday, March 21, 2006

AADG -- Ada Apa Dengan Geothermal ?

Banyak yg ketakutan akan habisnya sumber atau supply energi di dunia. Keputusan pemerintah Indonesia mengganti BOD dan BOC Pertamina yang lalu menyimpan sedikit harapan akan berubahnya pemanfaatan energi di Indonesia. Menempatkan personil hulu dengan latar belakang geothermal ini menyiratkan ada kesungguhan pemerintah untuk beralih ke geothermal. Dan hal ini perlu disikapi bersama-sama sesama peminat dan pemerhati energi di Indonesia.Keputusan yg brillian yg perlu ditindak lanjuti !.

Ada beberapa alasan mengapa kita harus beralih ke energi geothermal. Dibawah ini diuraikan keuntungan dimana paling tidak ada tiga alasan utama mengapa geothermal.

Potensinya sangat besar

Sudah sangat jelas bahwa negara Indonesia dilewati sekitar 20% panjang dari sabuk api atau sering disebut sebagai "ring of fire". Jalur ini merupakan jalur dimana gunung api banyak dijumpai. Dari gunung-gunung api inilah sumber panas diperoleh.

Menurut perkiraan yg tercatat hingga saat ini ada sekitar20 ribu MWe -- 40% potensi panasbumi dunia --namun yang dimanfaatkan baru sekitar 3-4% saja, jelas ini sebuah peluang yg sangat besar dan perlu dimanfaatkan. Apabila dikonversikan maka total yg 40% ini setara dengan supply minyak bumi sebesar 8 Milyard Barel Ekivalen. Ini masih hanya diperkirakan berdasarkan atas "current technology stages", efisiensi konversi, serta usia sumur yg mampu dipakai selama produksi/operasi. Karena pada prinsipnya daya kalor panasnya sendiri tidak akan habis dalam ratusan bahkan ribuan tahun.

Seberapa sih 8 Milyar barrel ekivalen ini ?
Sebagai gambaran lapangan Minas dan Duri yg terbesar di Asia ini memiliki total cadangan sekitar 4 Milyar Barrel. Sehingga kalau kita mampu memanfaatkan geothermal jelas akan sangat menolong untuk mengurangi subsidi BBM.

Technologicaly Proven

Energi geothermal merupakan energi yg dihasilkan oleh panasnya perut bumi. Panas atau suhu tinggi ini sangat mudah dimengerti sebgai sumber energi. Namun panas saja tidak dapat dimanfaatkan secara optimum. Perlu adanya transformasi energi ke dalam bentuk energi lain sehingga siap pakai. Saat ini teknologi pemanfataan geothermal untuk dipakai sebagai pemanas jelas sudah ada, namun karena Indonesia termasuk daerah tropis kebutuhan panas ini tidak banyak diperlukan.Jusru kebutuhan pendingin yg diperlukan dan yang diperlukan di Indonesia ini terutama adalah untuk penerangan dan transportasi.

Penerangan di Indonesia hampir 100% mempergunakan listrik. Tehnologi konnversi energi panas (steam) menjadi energi listrik sudah terbukti dimana-mana sehingga secara tehnologi tidak ada masalah dengan pemanfaatan energi geothermal ini. Juga kebutuhan untuk penerangan dan transportasi jelas ada di Indonesia. Kereta Api listrik di Jakarta sudah sejak lama memanfaatkan listrik sebagai sumber penggeraknya. Hal ini tentunya juga akan sangat mungkin untuk memanfaatkan geothermal sehingga dipergunakan sebagai energi pembangkit energi listrik juga untuk kebutuhan industri (lapangan kerja).

Aman dari ancaman "penjarahan"

Mengapa saya tekankan hal ini ?. Kebutuhan energi dunia akan meningkat tajam dengan munculnya dua "raksasa rakus energi" yaitu Cina dan India. Amerika yg konsumsi energinya saat ini perkapita paling rakus-pun menunjukkan peningkatan. Paling tidak ketga negara ini akan dengan berusaha susah payah untuk mencari sumber-sumber energi baru yg dapat dipakai untuk memakmurkan negaranya. Banyak ekspansi dilakukan oleh India dan Cina ke negara-negara lain. Sumber energi yg selalu dikejar adalah MIGAS.

Mengapa yg paling dicari migas ?
Migas memiliki keudahan dalam hal transportasi. Dengan sebuah kapal tanker raksasa saat ini mampu membawa ribuan bahkan jutaan ton minyak. Juga kapal-kapal tangker LNG akan dengan mudah membawa gas-gas yg sudah dicairkan ini. Mengapa ditransportasi ? Ya, karena pada prinsipnya kemakmuran akan diciptakan ketika ada "kerja" dan ada aktifitas.

Saat ini energi geothermal masih hanya mampu dikonversi menjadi listrik. Belum ada yg mampu memindahkan listrik antar benua. Memindahkan atau mendistribusikan listrik masih hanya dilakukan dengan dengan kabel laut antar pulau. Dengan demikian kalau mengembangkan energi listrik maka energi tersebut hanya dapat dipergunakan di daerah lokal atau regional yg dekat dengan sumber geothermal tersebut. Artinya pemanfaatan energi geothermal hanya mampu dimanfaatkan oleh Indonesia sendiri.

Dengan belum dimungkinkannya "membawa listrik" antar benua. Maka mau tidak mau energi tersebut harus dimanfaatkan di Indonesia. Nah, ini berbarti Amerika, India serta Cina yg rakus energi dunia sangat kecil kemungkinannya untuk "menjarah" energi geothermal ini. Kalau toh mereka akan memanfaatkan energi ini dalam bentuk investasi, maka sudah PASTI akan dimanfaatkan oleh Indonesia sendiri. Sehingga tinggal bagaimana rakyat Indonesia mampu memanfaatkan "kesempatan bekerja" dari pemanfaatan energi yg dihasilkan oleh energi geothermal ini. Bayangkan multiplier effect yang akan dihasilkan di dalam negeri Indonesia !

So, mengapa tidak mengembangkan geothermal yg "aman" dari ancaman "penjarahan" oleh negara-negara rakus energi ini ?

Masih banyak hal-hal positip yg dapat diambil dari pemanfaatan geothermal ini. Namun tiga diatas merupakan hal yg paling penting, energi geothermal ini tidak menghasilkan emisi karbon yang saat ini masih menjadi perhatian khusus dari sisi lingkungan.

Friday, March 17, 2006

"Survival mode" vs "Productivity mode"

Kalau boleh saya berfikir dichotomy dalam sebuah langkah manusia, ataupun pada sekelompok manusia, bahkan sebuah perusahaan atau sebesar bangsa dan negara, maka akan ada dua "mode" utama. Dua mode ini adalah "survival mode" dan "productivity mode".

Survival mode
Ketika kondisi terpepet manusia akan kembali pada sisi binatangnya yaitu mempertahankan diri. Mempertahankan diri ini tidak selalu karena ada lawan persaingan, namun juga mempertahanan diri dari kepunahan. Yang penting hidup dulu.

Productivity mode
Dalam kondisi yg cukup kondusif, tentunya manusia akan mulai mencoba "berkarya" untuk menjadi manusia yg sempurna. Kreatiftas berjalan, ide bermunculan, akhirnya produktifitas manusia semakin besar.

Ketika melihat sebuah pedebatan tentunya akan ada paling dua pihak yg bertikai atau saling mengadu argumentasi. Nah kalau anda sedikit berpikir dimana orang itu berasal maka akan terlihat apakah dia sedang berlakon menjalankan "survival mode" atau berlakon "productivity mode".

Hal yg paling baru dalam diskusi diantara pengamat energi di milist (IAGI-HAGI-Migas Indonesia) tentunya ketika berdiskusi soal Block Cepu, sangat jelas terlihat dikhotomy ini. Bagi yang menjalankan peran survival mode tentunya akan ngotot berdasarkan keinginan untuk mempertahankan hidup, dengan sedikit concern tentang keekonomian secara utuh. Akan lebih bersifat menggunakan serta menekankan nasionalisme. Tulisan sebelumnya "minder tanda tak mampu" merupakan salah satu bentuk berpikir dengan "survival mode". Walaupun saya berusaha se-netral mungkin. Namun ternyata rasa nasionalisme sayapun tidak lepas begitu saja. Kalau vulgarnya saya ingin menyatakan "This is my country, I have to have control to my property !".

Ketika menjalankan peran "survival mode" biasanya tidak berpikir global paling banter regional atau bahkan lokal, keputusan pikirannya lebih mementingkan diri sendiri. Dalam hal ini bisa saja bukan individual namun atas-nama bangsa sendiri, atau demi kelompok sendiri. Dan ada kecenderungan menganggap lawannya sebagai musuh atau lawan yg harus dikalahkan.

Berbeda dengan kawan-kawan lain yg barangkali menjalankan peran atau lakon "productivity mode" ketika berargumentasi kasus Cepu. Dasar yg dipikirkan adalah bagaimana mengoptimumkan hasil Cepu, berpikir lebih realistis, lebih sering berdasarkan keekonomian. Kenapa keekonomian ? Ya jelas karena dengan mematerialkannya akan lebih mudah mengukur tingkat kesuksesannya. Juga pada "productivity mode" melihat kasus ini sebagai kasus bisnis saja. Faktor belajar dari pengelolaan cepu bukannya diabaikan tetapi dianggap lebih sebagai ekses bukan hal utama.

Tidak ada yg benar dan salah dalam hal menjalankan dua mode ini. Sangat mungkin kedua ini akan dialankan bergantian, atau sangat situasional. Namun tentunya kecenderungan bahwa rakyat Indonesia ini lebih banyak berpikir survival mode sukar ditepis. Apapun alasannya pasti akan sangat masuk akal. Lah wong jumlah yg tersedia sedikit, yg berebut buanyak. Hukum yg berlaku seolah-olah hukum rimba saja, siapa yg kuat yg mengatur. Makanya lelakon "survival mode" menjadi sangat dominan di Indonesia.

Memutuskan siapa yg akan menjadi operator di Block Cepu tentu saja hal yg tidak mudah. Namun kalau saja keputusan itu berdasarkan atas pertimbangan tertentu yg didasarkan atas pertimbangan ilmiah-akademis akan lebih pas. Tentusaja hal ini memerlukan waktu walopun disisi lain juga Indonesia diburu-buru oleh kebutuhan mendesak ....

Nah apapun keputusannya .... kita bisa lihat bagaimana hal itu diputuskan.
Just not "what", but "why" ?

Sunday, March 12, 2006

Geothermal mendapat angin segar !

Barangkali semua mata hanya tertuju pada pentholan paling atas dari komposisi board yg ada di Pertamina. Hampir semua memperhatikan siapa yg menjadi Direktur Utama Pertamina yg diumumkan berdasarkan Kep-29/MBU/2006 and No. Kep-30/MBU/2006 mengenai pergantian of PERTAMINA’s BOD dan BOC, pada tanggal 8/3/2006 oleh Menteri Sugiharto. Tapi sayangnya mata saya selalu saja tertuju pada hal yang berbeda. Mungkin perlu ganti kaca mata :)

Hampir semua melihat impaknya pada kasus Cepu, namun ada beberapa hal yg jangan sampai kita lewatkan hanya karena masalah Cepu saja menjadi latar dari pergantian ini. Dalam artian energi secara utuh menyeluruh, ada sebuah keputusan lain yg perlu diperhatikan dengan penggantian komposisi board ini. Terlihat adanya arah belokan (turning point) strategis yg harus diperhatikan dan dilihat dengan lebih jernih. Dan perlu dukungan semua "stake holder" industri migas dan energi secara umum.

Dalam sebuah pertempuran maka invanteri adalah sebagai pembuka jalan yg sangat menentukan jalannya pasukan dibelakangnya. Nah .... Siapa yg menjadi pengelola hulu ?

PERTAMINA’s new BOD:

* President & CEO : Ari H. Soemarno
* Deputy President Director & COO : Iin Arifin Takhyan
* Corporate Senior VP, Upstream : Sukusen Sumarinda
* Corporate Senior VP, Refining : Suroso Atmomartoyo
* Corporate Senior VP, Marketing&Trading : Ahmad Faisal
* Corporate Senior VP, General Affairs&HR : Sumarsono
* Corporate Senior VP, Chief Financial Officer : Frederick ST Siahaan

PERTAMINA’s BOC are as follows:
* President Commissioner : Martiono
* Commissioner : Muhammad Abduh
* Commissioner : Umar Said
* Commissioner : J Purwono (replacing Iin Arifin Takhyan)

Kalau diperhatikan dua posisi dibawah posisi Dirut adalah mereka yang memiliki background energi geothermal.
Name : Iin Arifin Takhyan
Date of Birth: Tasikmalaya, 16 February 1952
Position : PT Pertamina (Persero) Deputy President Director&COO
Educational Background:
* Petroleum Engineer, Bandung Technology Institute (ITB)
* Energy Technology Geothermal, University of Auckland, New Zealand
* Energy & Environmental Economics, University of Auckland, New Zealand
Carreer:
* Director of Production Sharing Management, Pertamina
* Corporate Senior VP Upstream, Pertamina
* Directorate General on Oil&Gas, Energy & Mineral Resources

Name : Sukusen Sumarinda
Date of Birth : Semarang, 3 August 1951
Position : Corporate Senior VP, Upstream PT Pertamina (Persero)
Educational Background:
* Geologist, Gajah Mada University (UGM)
* Geothermal Institute of Auckland, New Zealand
Carreer:
* General Manager JOB Lasmo Malagot
* General Manager Geothermal – Upstream Directorate PT Pertamina (Persero)
Ada satu kegembiraan buat saya yang sering mengompori penggunaan energi geothermal di Indonesia. Ya geothermal. Pemilihan komposisi ini jelas memiliki arti yang sangat penting bagi Pertamina serta pemerhati energi di Indonesia. Pemanfaatan energi geothermal lebih kompleks dari migas. Geothermal energi saat ini masih jauh pemanfaatannya. Dari total potensi Indonesia sebesar 19.000 MW atau 40 persen dari potensi panas bumi dunia, total jumlah energi yg sudah dimanfaatkan baru sebesar 800MW listrik (2.5% total listrik) dan ini baru 4% dari potensi Indonesia . Dan kalau diperhatikan, semua potensi ini adalah potensi Geothermal high entalphy, belum lagi geothermal low entalphy atau sering disebut juga aquatermal yg ditulis sebelumnya.

Selamat Pak Sukusen dan Pak Iin !
Tentunya pengetahuan tentang geothermal ini sangat diharapkan akan sedikit membangkitkan pengembangan potensi geothermal ini menjadi andalan selain minyak-gas bumi yg saat ini sedang carut marut. Potensi geothermal harus mendapat porsi perhatian yang sepadan sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Ah kalau cuman sebesar Cepu saja, itu sih ecek-ecek lah dibanding potensi yg hampir 20 000MW energi ini (setara dengan 8 miliar BOE, barrel oil equivalent). Pergantian BOD-BOC ini bukan sekedar Cepu !

Semoga angin segar ini bukan sekedar semilir yang menina bobokkan bagi mereka yg dilanda kesedihan karena carut-marutnya sisi migas di Indonesia.

foto : Dieng Geothermal Plant 55 MW

Saturday, March 11, 2006

Bangga tapi jangan sombong

Beberapa teman protes karena tulisan "Minder tanda tak mampu". Ya tulisan itu seolah menghakimi sesuatu yg belum dijelaskan oleh Pak Hestu Bagyo tentang pernyataannya bahwa Pertamina tidak mampu mengelola Blok Cepu karena belum pengalaman. Dari sisi pengalaman mungkin benar, tapi kapan Pertamina akan berpengalaman ? Ya kalau ahirnya mengerjakannnya sendiri. Belajar daripengalama yang terbaik tentunya mengerjakan sendiri, walaopun dapat juga belajar dari pengalaman orang lain. Jadi yang saya tekankan adalah harus MAU dulu. Kemauan jelas harus ditunjukkan dengan rasa percaya diri bahwa dirinya mampu melakukan.

My notes : Mau - Mampu ... Wah ini mana yg duluan ? dua-duanya seperti endog sama telur ..... eh, seperti ayam sama pitik ... Duh susah kan mikirnya ... :)
Sebenernya kalau kita mau. maka kemampuan akan diperoleh, mau berusaha, mau mencoba, mau melakukannya, mau belajar ... mau ... mau ....
Disitulah semua awal ke
mampuan ... eh jadi harus mau dulu donk !
Kalau
ngga mau gimana saya bisa tahu kalau kamu mampu ?

Ketika berani menyatakan mau seseorang pasti memiliki rasa percaya diri. Dan di dalam rasa percaya tentunya tidak akan lepas dari rasa bangga (pride). Rasa bangga ini bener-bener sangat diperlukan. Dan itulah sebabnya saya menuliskan mengapa rasa kebanggaan harus ditumbuhkan dahulu. Karena ternyata rasa bangga ini dapat menjadi motivasi utama ketika menghadapi kepunahan sebuah bangsa.

Hah ! Emangnya kita akan punah ?. Tentusaja tidak, kalau kita mau belajar dari kepunahan bangsa-bangsa di dunia. Dalam tulisan sebelumnya tentang Hilangnya Peradaban dituliskan bahwa bencana alam dapat mengakibatkan hilangnya peradaban. Namun bencana itu adalah faktor diluar kontriol manusia. Nah bagaimana dengan internal faktor ?

Penelitian seorang saintis Thuman and Bennet menemukan beberapa penyebab punahnya atau berakhirnya koloni atau beberapa bangsa yang pernah ada di dunia ini, termasuk didalamnya Bangsa Maya. Penyebab kepunahan itu biasanya berhubungan dengan adanya bencana alam ataupun peperangan yang mengakibatkan :
1. Langkanya kebutuhan dasar biologis utuk makan, minum, papan, dan kesehatan;
2. Hilangnya fasilitas-fasilitas industri produksi .... pabrik, aturan perburuhan dan kurangnya lapangan kerja, serta terhambatnya perdagangan;
3. Terbatasnya fasilitas untuk mengembangkan diri, termasuk didalamnya fasilitas melahirkan, usia perkawinan dam aturan jumlah anak;
4. Kurangnya pendidikan, termasuk didalamnya kurangnya penyampaian nilai-nilai budaya sehingga si anggota koloni dapat membrikan pengetahuannya ke generasi penerusnya;
5. Hilangnya kepercayaan diri, semangat dan motivasi.

Dari kelima penyebab diatas ternyata kebutuhan biologis menempati urutan terkecil, justru penyebab terakhirlah yang paling banyak berperan ...... ya ... hilangnya kepercayaan diri, ..... termasuk semangat hidup, ....... serta hilangnya motivasi diantara anggota koloni tersebut. .....
Wah aku makin tertarik saja membaca buku tentang kepunahan ini.
Hasil penelitian arkeologi menemukan sisa-sisa bangsa maya ini telah kehilangan semangat hidupnya.

Hilangnya kepercayaan diri ...... Loyonya semangat hidup .... Melemahnya motivasi ..... ya kita mestinya tahu sekarang. Hanya dengan kepercayaan diri, motivasi dan semangat hidup keempat penyebab kepunahan sebuah bangsa bisa dihindarkan.

Makanan dapat dicari kalau ada motivasi, .....
Pekerjaan dapat diciptakan seandainya ada semangat, .....
Proses pendidikan dapat diteruskan dengan adanya kepercayaan diri
Keterpurukan ekonomi bisa diatasi bila ada kepercayaan diri pada pelaku-pelakunya.
Pabrik bisa berproduksi kalau pegawainya tetap semangat bekerja.
Indek saham bisa membaik jika pelakunya tetap bergairah.

Peperangan paling besar adalah melawan diri sendiri, motivasi tidak bisa diberikan siapapun. Tetapi. motivasi, semangat dan kepercayaan diri harus dicari oleh kita sendiri .... karena ini semua ada dalam diri kita...... hanya diri sendiri yang bisa memunculkan motivasi ..... hanya kita yang mampu menggugah kepercayaan diri ini ...... namun banyak tantangan dari luar dan bukan dari dalam diri .... ya dari sekitar kita ini. Kisah sang pilot yang percaya diri telah mendaratkan dengan selamat pesawatnya yang kehilangan baling-baling mengingatkan akan pentingnya kepercayaan diri serta usaha.

Kita semua tahu dan sadar ....... Saat ini Indonesia sedang mengalami keterpurukan ekonomi ..... saat ini kita mengalami krisis kepercayaan diri ...... saat ini kita sedang mengalami perubahan ..... mengalami pergeseran nilai-nilai kebenaran sosial .... Namun jangan sampai hilang motivasi hanya karena berita buruk yang diedarkan di hampir semua media . Jangan hilang semangat hanya karena ramalan serta issue-issue menyesatkan.

Naah, anda bisa menilainya sendiri .. kalo ada politisi, ekonom, industriawan atau bahkan teman sebelah yang menyatakan bahwa kita sedang menghunjam kebawah . Kita tahu . Sebenarnya dialah yang sedang menghunjamkan diri. Dialah yang berusaha mempengaruhi kita mengikuti iramanya .... Anda mau ikutan dia yg menyatakan ketidak mampuan ? .
Atau anda mau ikutan sang pilot yang percaya diri dan berusaha mendaratkan pesawat dengan selamat ?

Ketika anda harus berbicara kebenaran, selalu saja ada konsekuensi serta impact dari apa yg dibicarakan. Impact dari ucapan sangat mungkin mempengaruhi yg mendengarkan motivasi, baik yg positip maupun negatip.

hef e nais whik en

Friday, March 10, 2006

Statistik Anggota IATMI-KL(Ikatan Ahli Teknik Peminyakan Indonesia - Kuala Lumpur)

Acara santai (Ikatan Ahli Teknik Peminyakan Indonesia - Kuala Lumpur) - "IATMI-KL talk " sebelumnya juga diawali dengan penayangan statistik IATMI-KL oleh Pak Teguh Prasetyo, Ketum IATMI-KL.

Anggota IATMI-KL hingga saat ini sudah tercatat sebanyak 123 Anggota. Namun angka ini masih belum mencakup seluruh GGE (Geologist-Geophysicist-Engineer) yang ada di malaysia, masih banyak yg belum tercatat sebagai anggota IATMI-KL.

Saat ini IATMI-KL didominasi oleh geologist dan geophysicist 44%. Hampir setiap project di Petronas dihiasi oleh Indonesian GGE.

Minder tanda ngga mampu !

Pernyataan Direktur EP Hestu Bagyo dalam acara BUMN Forum yg ditayangkan MetroTV sangat menyentak hampir semua praktisi migas Indonesia. Peryantaan bahwa secara institusional Pertamina tidak mampu mengelola Cepu ini seolah sebuah pukulan tangan kanan yg muter mengenai muka sendiri. Namun ini bisa saja bukanlah sebuah pukulan "lawan" tapi ini justru cubitan tangan kanan kita ke bokong sendiri supaya sadar apa yg sedang terjadi.

Tentunya Pak Hestu Bagyo tidak serampangan saja memberikan pernyataan "tidak mampu", barangkali ada sesuatu yg ingin beliau ungkap lebih jelas lagi. Ini yang menarik. Kita tunggu saja kalau beliau berbicara di depan DPR. Terlalu emosi dan berspekulasi malah membuat semua jadi runyam. Banyak yg akhirnya menyatakan apanya yang tidak mampu ? teknikal, finansial, dan apa maksudnya institusional ?.

Tentunya banyak orang-orang Indonesia yg berteriak lantang bahwa "kita mampu mengelola Cepu !", entah siapa yg disebut kita, dan apa yg dimaksud mampu. Kalau saja institusional yg dimaksud Pak Hestu bagyo sebagai aggregat ketidak mampuan mari kita lihat apa saja yg ada dalam institusi sebuah bisnis migas.

Untuk mempermudah kita bagi bebrapa kelompok dalam sebuah institusi migas
- Teknikal (Core bisnis)
- Support
- Management
dan bisa ditambah satu lagi :
- Environment (external support)

Karena aku ada di sisi teknikal aku babar ini dulu ya

Teknikal
Yang dimaksud sisi teknikal core ini adalah GGE (geology, geofisika dan Engineer, termasuk downhole hingga surface facilities). Tentunya banyak yg tidak meragukan kemampuan teknikal utk mengelola blok cepu. Tapi kita tengok teknikal ini paling tidak ada dua sisi "brain ware" manusianya atau "hardware" peralatan yg dimiliki, juga kalau mau ditambah software (aturan serta protocol yg tersedia). Nah sisi manusia atau brainware mungkin jelas tidak meragukan lagi. Untuk "hardware" atau peralatan bolehlah kita "membeli" dari luar seandainya tersedia di pasaran. Kalau belum ada tentunya harus menyediakan sendiri. Namun dalam kasus pengelolaan blok cepu ini tentunya tidak ada teknologi secanggih NASA yg akan diperlukan. Aturan serta protokol menjalankan sebuah project tentunya dimiliki setiap istitusi bisnis migas. Hanya saja ada standart yg harus dipenuhi. Mulai dari standar keselamatan (safaty), kesehatan (health) dan lingkungan (environment). Nah tergantung standard mana yg harus dipakai. Disini nantinya biaya (cost) akan berbicara dalam operasionalnya.

Secara sepintas jelas kemampuan teknikal Pertamina tidak ada yg meragukan. Dan saya yakin sekali banyak diantara diantara personal bangsa Indonesia ini yang mampu mengelola Cepu. Apakah Pertamina memilikinya ? Apakah Medco, ataukah EMP ? semua juga bangsa Indonesia. Tetapi dalam kasus Cepu ini hanya Pertamina dan EM yg sering dianggap ada didalam gelanggang.

Sebenernya ada sisi yg positip buat pertamina atas pernyataan pak Hestu Bagyo. Pak Hestu hanya menyatakan Pertamina belum mampu secara institusional namun banyak sekali ahli2 teknis Indonesia yg tersengat bokongnya. Paling tidak di milist profesional seperti ini. Tentu hal ini menunjukkan bahwa merekapun merasa "bagian" dari Pertamina. Buat Pak Dirut Pertamina saya hanya menyampaikan satu "Pertamina masih memegang citra Indonesia, buatlah para ahli teknis ini bangga !"

Selanjutnya yg dibawah dibabar besok pas whik en aja sambil nge-BLOG... :)

- Support
- Management
dan bisa ditambah satu lagi :
- Environment (external support)

rdp

Thursday, March 09, 2006

Ini Aquathermal bukan Geothermal

Semakin masuk kedalam perut-bumi maka temperatur batuan akan semakin meningkat. Rata-rata suhu akan naik 30-50 derajat Celsius setiap 1 Kilometer angka ini disebut sebagai gradien geothermal. Didaerah yang makin dekat dengan dapur magma gunung api tentunya peningkatan suhu ini juga akan semakin besar.

Tahukah anda berapa suhu geothermal yg ada di Bedugul Bali ? sekitar 250-300 C. Sangat panas tentunya karena daerah lapangan pengembangan eenergi geothermal yg kita kenal adalah bersuhu tinggi dan yg nantinya dimanfaatkan adalah uap panasnya atau "steam". Tekanan uap panas ini yang dipakai sebagai penggerak turbin. Dalam pembangkit Listrik Tenaga Panas bumi (PLTP) pada prinsipnya sama seperti Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Pada PLTU uap dibuat di permukaan menggunakan boiler, panas dari boiler ini dihasilkan dari pembakaran batubara atau BBM. Sedangkan pada PLTP uap berasal dari reservoir panas bumi yang disediakan oleh alam.

Kalau geothermal energi yg sudah banyak dikenal ini memanfaatkan uap panas sebagai energi penggerak tentunya diperlukan suhu yg sangat tinggi, seperti yang ada di lapangan-lapangan geothermal. Namun panas yg disebabkan karena kenaikan suhu batuan yg mendekati intibumipun sudah menghasilkan air panas. Ada yg menyebutnya sebagai sumber energi aquathermal. Namun tentusaja temperaturnya tidak setinggi di daerah geothermal akibat volkanik yang ada di dekat gunungapi.

Di Alberta, Canada suhu air dalam reservoir minyak dalam yg dibor oleh perusahaan minyak mencapai suhu 140 C. Bandingkan dengan suhu Bedugul yang diatas 250 C !. Namun ternyata suhu yg lebih rendah inipun sudah mampu untuk dimanfaatkan sebagai sumber energi. Dalam majalah Explorer-AAPG edisi Desember 2005 disebutkan potensial panasnya air dalam batuan reservoir ini sudah setara 5 trilloin barel minyak:

The Alberta Geological Survey (AGS) and the Alberta Research Council (ARC) have teamed up to study the technical and economic feasibility of harnessing Alberta's low temperature (10 to 40 degrees Celsius) to medium temperature (40 to 140 C) geothermal resources. Preliminary estimates suggest that -- given current technologies -- the potential energy locked in Alberta's geothermal waters is on the order of two to five trillion barrels of oil equivalent.
Panas yg hanya 140 C ini saja jelas sudah dikenal oleh mereka yg bekerja di perusahaan minyak Karena suhu reservoir minyak di Indonesia ini juga memiliki suhu sekitar 130-150 der C. Nah berapa jumlah sumur minyak tua dan ditinggalkan yg dapat dimanfaatkan di Sumatra Tengah, Sumatra Selatan, Kalimantan, Jawa dll ?

Kalau yg bersuhu 140C saja sudah dapat dimanfaatkan mengapa rentetan gunungapi di Indonesia ini sulit sekali bisa dimanfaatkan sebagai sumber daya energi yang utama?
Tentunya ini tantangan buat Indonesia untuk memanfaatkan potensi sabuk api (ring of fire) sebagai sumber daya yg dimanfaatkan, tidak hanya dianggap sebagai sumber bencana tentunya

Ada sesuatu yg harus diubah dibenak kita, bahwa ring of fire yg melewati Indonesia ini juga menyimpan segudang energi. Dan geothermal energi yg dapat dimanfaatkan tidak harus bersuhu tuinggi seperti yg ada didekat gunung api ... dan teknologinya sudah ada (lihat sitiran diatas).

So, what do you think ?


RDP
reference`: http://www.aapg.org/explorer/2005/12dec/geothermal.cfm

Wednesday, March 08, 2006

Resources Potential Equity

Yang aku uraikan ttg marginal field sebelumnya sebenernya mirip pendapatku tentang bagaimana menarik investasi energi di Indonesia. Semestinya investor tidak dihadang-hadangi dengan keuntungan minimum yg bakal mereka peroleh. Misalnya mereka akan berinvestasi dalam energi geothermal mestinya pembagian "potensi keuntungannya" ditentukan diawal namun bukan dalam parameter keekonomian misal ROR berapa dsb. Semua parameter bisnis ekonomi biarlah menjadi permainan investor. Kita (host country) bermain saja di level potensi/cadangan (resources/reserves).

Bagaimana utk menarik investasi energi ... Mungkin ngga kalau begini caranya ?

Katakanlah potensi geothermal menghasilkan 1000MW, ya mirip dengan migas maka dibagi splitnya 40% utk mereka yang 60% untuk Indonesia. Kalau potensinya 10 000MW ya splitnya diubah menjadi 25% utk investor 75% untuk Indonesia. Nah angka2 ini saja yg kita mainkan. Investor sendiri yang menentukan bagaimana memproduksikannya menjadi listrik dsb. Kita ngga usah repot2. Kita perlu menentukan angka2 split tersebut berdasarkan potential (resources/reserves) saja.

Yang menjadi "batasan" utk menentukan bagihasil atau split (equity) itu tentunya bukan batas keuntungannya, hanya saja jangan sampai keuntungan mereka kelewatan. Janganlah kalau keuntungan sampai diatas 300-400% yg saya sebut sebagai perampokan bukan bisnis lagi.

Mengapa saya berpikiran ini ?
Ya karena Indonesia bukan negara kaya yg memiliki kapital. Berbeda dengan negara-negara kaya seperti negara2 Arab yg mengundang investor dengan memberikan kepastian ROR yg tidak akan kurang dari 20% misalnya di Iran dsb. Iran mengundang Shell, exxon chevron dll bukan karena tidak memilki modal. Karena yg mereka (host country ini) cari adalah teknologi supaya minyaknya bisa diproduksikan. Sedangkan Indonesia bukan negara (bermental) kaya yg memiliki (sumberdaya alam sebagai) kapital. Sehingga risiko dibagi atau termaktub dalam pembagian hasil (bagi hasil atau sering disebut Production Sharing).


rdp
"mimpi aja"

Membandingkan dua PSC term antara Indonesia dan Malaysia

Membandingkan dua PSC term antara Indonesia dan Malaysia sangatlah menarik. Kedua negara ini bertetangga, serumpun, dan lebih banyak memiliki kemiripan dibandingkan perbedaannya. Bahkan salah seorang Profesor Malaysia yang bertemu dengan saya menyatakan bahwa Indonesia dan Malaysia ini masyarakatnya satu tapi negaranya dua. Bebrapa kali bertikai tapi negaranya yg bertikai dan pertikaian ini tidak di"restui" rakyat masing, .... mungkin saja.

Nah kalau kembali ke tahun 1970-an, waktu itu Indonesia memiliki Pertamina yg sudah cukup maju sistem pemanggilan investor perminyakannya. Sistem PSC sudah ada. Cikal bakal Pertamina sedniri sudah ada sejak 1960, dahulu dengan Permina dan Pertamin. Tahun 1970-an itu Malaysia mengirimkan staf-staf Petronas terbaiknya untuk "belajar" di Pertamina. Namun saat ini yg terjadi justru sang murid sudah lebih maju dan lebih bagus dari sang guru.

Nah kali ini akan kita lihat, apa yg dipelajari Petronas dari kita dan ganti kita lihat apakah dapat dimanfaatkan di Indonesia. Banyak sekali bahan yg dapat dipelajari namun hanya salah satu yg disorot disini yaitu investasi migas di malaysia yaitu sistem bagihasilnya - PSC (Production Sharing Contract).

Membandingkan sistem PSC seringkali banyak yg hanya melihat "equity-split", sistem cost recovery, lamanya kontrak dsb. Namun yg lebih penting adalah bagaimana sistem tersebut menjadikan pemanfaatan sumberdaya alam tersebut menjadi efektif dan efisien. Atau lebih mudahnya memberikan keuntungan lebih banyak kepada si tuan rumah (host country).
Apa tolok ukur efektif ? tentunya yang mudah adalah produksi yg meningkat. Dan tolok ukur efisienbisa saja dilihat dari manfaat yg dapat diperoleh oleh negara (host country)

Gambar diatas memperlihatkan perbandingan term-term yg tertulis dan yang paling sering dilihat sebagai bagian dari evakuasi investor-investor atau kontraktor sebelum memasuki sebuah negara. Perbandingan ini diambil dari PriceWaterhouse Cooper tahun 2003, berjudul "Asia-Pacific: Energy, Utilities&mining investment Guide". Kondisi tahun 2006 mungkin sudah berubah.
Parameter yg paling sering dilihat adalah fiskal term, termasuk prosentasi bagihasil (equity split), juga tax dan cost recovery scheme dll. Fiscal term ini yg sering dipakai sebagai pembanding, namun aturan serta tata cara relinguishment, prosentase daerah produksi jarang menjadi pertimbangan investor. Namun ternyata nantinya bisa dilihat efeknya ketika PSC term ini dijalankan.

Dibawah ini akan dicoba simulasi sebuah daerah seandainya dioperasikan dengan sistem PSC di Indonesia . Satulagi seandainya dengan sistem PSC di Malaysia Sebelah kiri daerah yg dioperasikan dengan sistem PSC Indonesia dikerjakan oleh PT IndoExplo. Sedangkan sebelah kanan apabila dioperasikan dengan sistem PSC Malaysia yg dikerjakan oleh MalayExplo Sdn Bhd.

Pada saat awal dua daerah ini memiliki daerah eksplorasi yg luasnya sama (anggap saja 100Km persegi). Pasa tahun kedua atau ketiga biasanya ada sumur yg dibor (sumur W-1 -dry hole). Kedua nya memiliki kondisi yang sama persis. Belum ada daerah yg disebut producing area. Semua daerah berstatus under exploration phase.

Pada pertengahan tahap awal eksplorasi, sistem PSC Indonesia mengharuskan adanya daerah yg dikembalikan ke host country (Pemerintah Indonesia). Seringkali daerah ini akan dipilih daerah yg dianggap tidak memiliki prospek jebakan. Perusahaan PT IndoExplo akhirnya mengembalikan daerah sebelah timur seluas 20% dari luas awal. Dalam sistem PSC Malaysia, pada tahap eksplorasi tidak ada daerah yg harus dikembalikan semua daerah boleh dieksplorasi sampai habis masa eksplorasi. Dengan demikian MalayExplo Sdn Bhd tidak perlu susah dan repot2 berpikir mana daerah yg tidak prospek itu, PT MalayExplo akan berkonsentrasi mengerjakan eksplorasi. Kalau toh pada fase explorasi ini masih dirasa kurang waktunya, masih ada opsi utk memperpanjang masa eksplorasi ini. Kedua sistem PSC ini memberikan leluasaan yg sama pada masa eksplorasi ini, dimana diberikan opsi untuk bisa diperpanjang masa eksplorasinya. Namun masa kontrak yg sudah ditetapkan awal (20-30 th) tetap dihitung dari awal kontrak.

Pengeboran dan kegiatan eksploasi terus dilakukan. Perusahaan IndoExplo ini cukup sukses akhirnya. Pengeboran sumur W-2 dan W3 memberikan hasil yang sangat bagus. Demikian juga MalayExplo. Mereka juga sukses di sumur W-2 dan W-3. Namun sumur ke 4 (W-4) hanya menemukan lapangan marjinal (memiliki cadangan yang tanggung). Lapangan yg cadangannya cukup "tanggung" ini bisa dikembangkan atau diproduksikan, namun bisa jadi tidak ekonomis tergantung kondisi keekonomian, harga, teknologi baru serta parameter ekonomi lainnya.

Akhirnya masa eksplorasi sudah berakhir. Kedua operator (IndoExplo dan MalayExplo) harus mengambalikan daerah ke host country (negara tuan rumah). Kedua operator ini sama persis keputusannya mereka akan mengambangkan Lapangan 2 dan 3 tetapi tidak atau belum dapat mengembangkan lapangan 4 karena marjinal.
Ketentuan negara Indonesia adalah mengembalikan daerah yg tidak akan dioperasikan dan menyisakan 20% dari daerah awal explorasi. 20% daerah ini disebut producing area. Tentusaja IndoEplo masih menimang-nimang Lapangan 4 yg marjinal, karena berpikir bahwa itu mungkin dikembangkan beberapa tahun lagi kalau kondisi keekonomian berubah. Lapangan 4 yg marjinal inipun dimasukkan sebagai bagian dari 20% daerah produksi.
Ketentuan negara Malaysia hanya memperbolehkan menentukan daerah produksi seluas lapangan yg akan dikembangkan sehingga hanya dua lapangan saja yg dikembangkan. Yaitu lapangan 2 dan lapangan 3. Lapangan 4 yg tidak (belum) direncanakan untuk dikembangkan dikembalikan ke pemerintah Malaysia.

Pada tahap produksi selama 20 tahun kondisi perminyakan memang banyak banyak berubah. Banyak teknologi baru, harga minyakpun berfluktuasi. Sehingga struktur prospek 5 dan struktur prospek 6 menjadi sangat menarik utk dilakukan test eskplorasi. Di Indonesia kedua sumur tersebut di bor oleh IndoExplo. Ternyata hasilnya tidak memuaskan, kedua sumur tersebut gagal, sumur W5 dan W6 kering (dryhole). Walopun IndoExplo telah membayar kapital expenditure karena melakukan eksplorasi, mereka tenang-tenang saja, karena toh kedua sumur tersebut sudah cost recovered. Artinya biaya eksplorasinya akan dibayari atau diganti dari produksi Lapangan 2 dan Lapangan 3. Di daerah dengan PSC Malaysia, ternyata daerah ini tetap menarik. Akhirnya daerah yg masih meninggalkan dua prospek ini diambil oleh MelayuEksplorasi Sdn Bhd dan Sumur W5 dan W6 juga di drill oleh MelayuEksplorasi namun juga gagal. Dan ditinggalkan oleh MelayuExplorasi.
Sedangkan lapangan marginal W4 dikembangkan oleh perusahaan MalesaExplo karena term PSC dan splitnya berbeda. Dengan sistem Reserves threshold equity, dimana split tergantung dari besarnya reserves, maka Lapangan 4 dinilai ekonomis oleh MalesaExplo dan dikebangkan walopun produksikan kecil. Namun dalam protofolio perusahaan MalesaExplo masih cukup menguntungkan. Nah kalau menurut porto folionya IndoExplo jelas tidak ekonomis, karena dibandingkan dengan produksi Lapangan 2 dan 3 yg sangat bagus sekali.

Nah sekarang kita lihat data real dikedua negara, apakah memang seperti itu yang terjadi? Apakah ada indikasi dalam produksi migas ?

Definisi luas daerah produktif antara Malaysia dan Indonesia sangatlah berbeda. malaysia hanya menyisakan sedikit sekali daerah produktif, sedangkan di Indonesi daerah yg di"kangkangi" oleh producing company (kontraktor) ini sangatlah luas. Namun jelas daerah ini tidak akan seaktif sebuah daerah yg masih dalam tahap eksplorasi. Di Malaysia daerah eksplorasi (merah muda) sangatlah luas, artinya investasi berjalan terus. Dan sebuah daerah dapat dieksplorasi oleh dua atau tiga perusahaan secara bergantian. Sedangkan daerah yg ditahan 20% oleh producing Company ini tidak lebih aktif, walaupun ada "iming-iming" cost recovery terhadap capital expenditure.

Bagaimana dengan gambaran produksi minyaknya ?
Produksi minyak di Indonesia terlihat memuncak selama 20-30 tahun, artinya satu kali periode kontrak saja. Terlihat bahwa banyak kontrak PSC yg ditandatangani oleh perusahaan baru namun saya menduga, hanya sedikit yang berhasil membuat atau menjadi producing company. tentunya ini masih dugaan karena ini hanya evaluasi sepintas. kalau anda memiliki data lengkap dan bersedia dihare dengan saya tentunya akan sangat bermanfaat buat negeri ini.


Membandingkan produksi minyak kedua negara ini juga memperliatkan bagaimana produksi minyak di Malaysia senantiasa meningkat karena daerah terseut dikelola dan dikembangkan secara berulang ulang. Simulasi diatas memp[erlihatkan bahwa daerah di Malaysia bisa dieksploasri oleh 2-3 kali siklus. Baik oleh perusahaan yg berbeda maupun perusahaan yg sama dengan term kontark yg selalu dperbaharui.

Nah apa yg bisa dipelajari dari simulasi dua jenis PSC ini ?
any comment ?

==== note behind the scene ====
(why I wrote this)

Ya saya setuju tergantung the man behind the gun. Tetapi aku yakin bukan itu saja faktornya. Dan yg jelas manusia itu sudah masalah sosial yg mungkin diluar kompetensi saya.

Saya lebih tertarik melihat aspek fisis teknikalnya misalnya sistem pscnya, sistem cost recovery dll. Dimana sistem-sistem ini pulalah yg mejadikan manusia yg membawanya menjadi mudah atau menjadi sulit. Kalau sistemnya sudah berat, sedangkan yg membawa masih belum cukup kuat maka cara membawanya pastilah akan diseret-seret. Kan kesian orangnya juga, kalau salah dibentak, kalau behind the gun ini harus bener membawa diatas punggung, wah dia akan kecapaian malah bisa-bisa mati dijalan ga kuat membawa beban ke tujuan. Membuat sistem yang sesuai dengan kemampuan si the man itu yg mungkin perlu dilakukan.