Surat Terbuka Buat Rizal Malarangeng
Komentar saya atas tulisan beliau di Mailist Islam LiberalMas Rizal yang baik,
Selamat atas "kesuksesan" anda. (maaf masih dalam "tanda kutip" karena saya terpaksa menganggap ini masih wacana pribadi anda yg menyatakan sukses).
Sudah sejak awal (ketika dioperasikan HUMPUSS) saya melihat bahwa Cepu ini sudah kontroversial. Awalnya kontrak daerah ini berupa sebuah kontrak TAC (Technical Asiistant Contract), adalah kontrak yang pada kontrak2 sejenis lainnya/sebelumnya isinya berupa bantuan dalam proses produksi, bukan eksplorasi. Namun saya ndak tahu apa sebabnya tiba-tiba HUMPUSS melakukan kegiatan eksplorasi. Pada waktu itupun saya sebagai praktisi di Migas di Indonesia cukup bangga karena "ada" perusahaan nasional yg "berani" melakukan eksplorasi. Walaupun "cara" mendapatkan daerah konsesinya dengan fasilitas. Which is OK to me, lah masih "anak-anak" kan wajar kalau dapet subsidi "uang jajan".
Namun perjalan sejarah berikutnya berubah lain lagi. Blok ini entah bagaimana "berubah" menjadi PSC dan ini tentusaja mengundang pertanyaan dan menjadi delik khusus, apakah bisa kontrak berubah. Dan fenomena inipun dipertanyakan oleh salah satu BOD IPA (Indonesian Petroleum Associacion).
Yang ingin saya garis bawahi adalah adanya "kejadian" perubahan kontrak. Bisa jadi kontrak baru ini bagus (entah versi siapapun), namun yg saya sayangkan sepertinya ada "pelanggaran" komitmen awal. Dimana menurut saya komitmen awal harus diseleseikan dulu. Dan sepertinya kelemahan org Indonesia ini adalah mempertahankan komitmen.
Dan anda tahu kan, bahwa komitmen daerah ini yg seharusnya berenti tahun 2010. Namun saya heran kenapa anda menyatakan Indonesia akan menikmati hasil setelah 2012 itupun "kalau memenangkan" arbitrase. Bukankah kontrak TAC dengan humpus yg berubah ke PSC ini akan berakhir dengan sendirinya tahun 2010 ? Dan perpanjangan kontrak bukanlah sebuah "keharusan" ? Mengapa anda takut ada arbitrase ?
PSC (Production Sharing Contract) pada prinsipnya mirip BOT (Build Operate and Transfer), mirip membangun jalan Tol. Artinya pada akhir kontrak harus ditransfer dulu ke "host country", perkara nantinya diperpanjang lagi itu tidak apa-apa, apalagi kalau menuntungkan kedua belah pihak. Tetapi menganggap bahwa perpanjangan kontrak sebagai sebuah keharusan yg bisa menuai badai arbitrase menurutku logika yang "salah besar". Karena menyalahi ide dasar BOT diatas. Walopun ternyata jalan Tol yg juga BOT-pun ndak dikembalikan juga ke negara ya :) ... ok ini perkara lain.
Perpanjangan kontrak yg belum berakhir karena diburu-buru ini tidak hanya Kontrak Cepu. Bahkan kontrak Freeport dulu juga diperpanjang sebelum masa kontrak berakhir. Ini yang harus diperhatikan Mas Rizal. Bahwa memperpanjang kontrak yg masih jauuuh akan berakhir seringkali "menjebak". Jadi saran saya seleseikan dulu kontrak baru diperpanjang setelah dikembalikan. Kan wajar to ?
Mas Rizal, saat ini saya bekerja di Kuala Lumpur, Malaysia. Dan saya punya kesempatan banyak melihat bagaimana industri migas Malaysia melalui Petronas-nya berkembang pesat. Sistem PSC mereka diadopsi dari PSC Indonesia, namun modifikasi yg dilakukannya sangat canggih. Silahkan mampir di blog saya ( rovicky.blogspot.com ), saya menguraikan panjang lebar tentang perbandingan PSC Indonesia dan Malaysia. Dimana salah satunya adalah Malaysia menjalankan PSC ya persis sistem BOT. Yaitu semua kontrak PSC yg habis dikembalikan ke Petronas dan dikelola sendiri oleh Petronas. Dan jangan kaget saat ini ada 150 Geoscience dan Engineer Indonesia yg bekerja di Kuala Lumpur. Hampir semua project Petronas pasti "dihiasi" oleh GGE Indonesia. Jadi bukan hanya TKI pembantu dan buruh saja yg ada di Malaysia.
Nah ada tiga point yg ingin saya sampaikan mas Rizal.
- Bahwa ide BOT dijalankan dengan baik di Petronas sehingga Petronas dapat "belajar" mengendalikan sendiri perminyakannya. Dan GGE Indonesia telah kehilangan Cepu sebagai ladang belajar.
- GGE Indonesia ini sudah mampu mengelola lapangan minyak. Dan ini justru diakui oleh Petronas namun justru tidak diakui di dalam negeri, bahkan tidak diakui oleh pemerintahnya sendiri (paling tidak secara tak langsung).
- PSC term tidak hanya masalah "fiskal". Split kadang kala tidak berarti banyak dalam longterm production. Ketahuilah kita hanya sukses menjalankan PSC generasi pertama saja. Dimana plateu production kita ini hanya ertahan 20-30 tahun sejak PSC dicanangkan. Artinya hanya satu kali periode kontrak PSC.
Nah kembali soal Cepu Blok. Saya tahun kemarin (2005) pernah membuat seminar bersama teman-teman di Indonesia lewat IAGI-HAGI (Ikatan Ahli Geologi Indonesia - Himpunan Ahli Geofisika Indonesia). Pada waktu itu yg saya katakan hanyalah soal kemampuan orang Indonesia mengelola Cepu. Mengapa saya berkonsentrasi disini karena rasa bangga dan diakui mampu impaknya ternyata sangat besar. Memang tidak instant seperti yg Mas Rizal katakan "untuk saat ini" yg mampu membuat sekolahan dan puskesmas. Ungkapan ketidak mampuan Indonesia mengelola Cepu inilah yg "menohok urat malu" teman-teman saya di HAGI dan IAGI. Sehinga mereka merasa dipermalukan dengan ungkapan tidak mampu sebagai pengelola lapangan minyak.
Barangkali bener kata anda bahwa mereka masih cerewet dan merengek2, namun ya inilah kondisi bangsamu Mas Rizal. Anda barangkali sudah berjalan terlalu maju kedepan. Namun pelajaran yg saya ambil dari Malaysia justru sebaliknya dengan anda. Mereka (pemerintah Malysia) saat ini sedang "melindungi" Mobil Nasionalnya Proton, dengan menurunkan harganya sekitar 2-3 %. Hanya satu alasan logis yg saya rasakan, untuk meningkatkan kebanggan rakyat menggunakan mobil bikinannya dan sebagai Bangsa Malaysia. Nah anda yg dalam posisi sebagai negosiator justru memposisikan bangsa sendiri dalam posisi dibawah. Wah nyesel saya Mas Rizal ... maaf.
Ya, Saya saat ini juga tidak akan berkepanjangan memikirkan soal Cepu ini lagi. Karena saya barusaja menemukan kembali "harta karun" negara saya berupa cadangan geothermal yg cadangannya merupakan 40% cadangan dunia, dan nilainya setara dengan 8 milyar BOE, bandingkan dengan cepu yg hanya 500-700 juta barrel. Nah saya aprreciate kalau anda masih ingin berkutet sebagai negosiator didalam sektor geothermal ini. KArena energi geothermal ini hanya bisa diubah menjadi listrik sehingga relatif "aman" tidak dijarah negara2 yg rakus energi.
Nah, Mas Rizal kalau memang anda bener mau sukses, tolong Energi Geothermal ini "dikawal" lagi ya ...
Salam
Rovicky Dwi Putrohari
Geologist Indonesia
Anggota : IAGI-HAGI-IPA
Blok Cepu, Mission Accomplished
Oleh Rizal Mallarangeng
Kesepakatan Blok Cepu adalah sebuah prestasi tersendiri dalam sejarah perminyakan Indonesia. Seharusnya kita merayakan keberhasilan itu dan kemudian memikirkan bagaimana potensi penghasilan tambahan yang cukup besar bagi negara dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat. Sayangnya, sudah menjadi kebiasaan kita belakangan ini untuk melihat sisi negatif dari semua hal dan membesar-besarkan kemungkinan buruk yang bisa terjadi di masa depan. Kita menjadi bangsa yang pesimistis, perengek sekaligus cerewet, dengan horizon yang tak lebih jauh dari apa yang tampak di depan hidung.
Itulah kesan yang saya peroleh dari kalangan yang menentang kesepakatan Blok Cepu. Sebagian bahkan memakai argumen-argumen nasionalisme yang sudah usang, dan mengajak kita untuk kembali lagi ke suasana tahun 1950an dan 1960an. Sebagian lagi, seperti Kwik Kian Gie, bahkan pernah berkata bahwa kita harus menunjuk Pertamina sebagai operator Blok Cepu, berapa pun ongkosnya, seolah-olah dengan begitu kita berada dalam dunia hitam-putih, di mana yang satu adalah simbol segala kebaikan dan sikap pro-rakyat, sementara yang satunya lagi merupakan simbol segala keburukan dan anti-rakyat. Perusahaan asing pasti merugikan kita, sementara perusahaan negara pasti sebaliknya.
Kita hanya bisa mengurut dada terhadap argumen semacam itu. Zaman terus berubah dengan cepat, tetapi pikiran sebagian orang ternyata senantiasa berjalan di tempat. Prof. Clifford Geertz harus meneliti sekali lagi di Indonesia, dan menulis buku berjudul The Involution of Mind in Jakarta.
Agar tidak simpang siur berkepanjangan dan menghabiskan energi politik yang tidak perlu, saya ingin mengingatkan kita bahwa salah satu soal fundamental ekonomi Indonesia berhubungan dengan minyak bumi. Pada tahun 1970an dan pertengahan 1980an, harga minyak membubung tinggi dan kita bersorak kegirangan karena adanya bonanza minyak. Hasilnya, antara lain, adalah puluhan ribu SD inpres, puskesmas, jalan raya, dan tambahan ribuan
guru.
Sejak dua tahun lalu harga minyak meroket lagi, bahkan mencapai rekor di akhir tahun lalu. Tapi kita justru menjerit. No bonanza, only pain and desperation. Anggaran tercekik, subsidi harus dipangkas, beban hidup masyarakat bertambah.
Mengapa? Jawabnya sederhana. Pada zaman Pak Harto produksi minyak kita jauh berada di atas tingkat kebutuhan domestik. Pada 1977, misalnya, Indonesia memproduksi 1.6 juta bph (barel per hari), sementara kebutuhan domestik hanya sekitar 0.25 juta bph. Selisih seperti itulah yang kita nikmati dan menjadi penggerak pembangunan ekonomi di zaman Orde Baru,
terutama dari awal 1970an hingga pertengahan 1980an. Sekarang selisih demikian sudah menguap, malah kita sudah tekor. Kebutuhan domestik terus bertambah, sementara produksi minyak cenderung konstan, bahkan sejak 1998 terus mengalami penurunan.
Dalam posisi seperti ini, melambungnya harga minyak jelas bukan lagi rahmat, tetapi tohokan yang tepat di ulu hati.
Kondisi seperti itulah yang menjadi latar belakang perundingan Blok Cepu, yang memicu pemerintah untuk segera menghidupkan kembali proses negosiasi yang telah terbengkalai selama lebih lima tahun. Jika dikelola dengan baik blok ini mampu memompa minyak dalam jumlah yang cukup fantastis untuk ukuran kita, yaitu sekitar 20 persen kapasitas produksi nasional. Dengan ini kita akan bisa kembali menjadi net exporter, dan menggunakan hasilnya demi kemakmuran rakyat.
Dari perhitungan kasar, nilai produksi yang dapat diperoleh dalam sepuluh tahun pertama bisa mencapai Rp 200-300 triliun, atau sekitar Rp 25 trilun per tahun. Berapa sekolah, rumah sakit dan fasilitas publik yang dapat dibangun dengan duit sebanyak itu setiap tahun?
Karena itu, setiap pemerintahan yang bertanggung jawab harus mengupayakan agar perundingan ini sukses dan tidak bertele-tele. Jika gagal, kita harus menunggu lagi hingga 2010, yaitu berakhirnya masa kontrak Exxon, dan baru bisa menikmati hasil dari Blok Cepu paling cepat pada 2012, itu pun jika kita mampu memenangkan perkara ini di pengadilan arbitrase internasional.
Pada saat memulai negosiasi dengan pihak Exxon, Tim Negosiasi dihadapkan pada banyak persoalan. Tetapi dari semuanya, hanya tiga persoalan yang fundamental, yaitu participating interests (PI), pembagian hasil atau split (PH) dan operatorship. Dari ketiganya, dua faktor pertamalah yang paling berpengaruh terhadap jumlah dana yang diterima oleh negara atau pihak Indonesia, yaitu pemerintah pusat, pemerintah daerah dan Pertamina. Perlu pula diketahui bahwa awal perundingan tidak bermula dari kertas kosong yang putih bersih. Sebelum Presiden SBY terpilih, telah ada kesepakatan awal dalam dokumen HoA (Head of Agreement) yang telah diparaf antara pihak Exxon dan Pertamina. Dalam dokumen ini telah diatur, antara lain, pembagian PI masing-masing pihak, yaitu Exxon 50 persen, Pertamina 50
persen, dan dengan PH 60:40. Dengan ini, jika produksi telah dimulai, pembagian hasil di ujungnya adalah pemerintah pusat 60 persen, Pertamina 20 persen (50% x 40), Exxon 20 persen. Artinya, pihak Indonesia akan memperoleh 80 persen perolehan di Blok Cepu dan sisanya buat Exxon (20 persen).
Tanggung jawab yang dibebankan kepada Tim Negosiasi adalah penyelesaian perundingan secepat-cepatnya dengan hasil yang maksimal buat negara. Karena itu harus dicari jalan agar hasil perundingan sekarang jauh lebih baik ketimbang hasil negosiasi sebelumnya sebagaimana yang tergambar dalam HoA di atas. Dan sebagaimana umumnya setiap proses negosiasi, yang terjadi adalah proses tawar-menawar, ulur-mengulur, bahkan gerak-menggertak.
Singkat kata, setelah proses negosiasi yang alot selama kurang lebih setahun, hasil perundingan ini sudah kita ketahui bersama. Dalam komposisi PI kini pemerintah daerah memperoleh 10 persen yang didapat secara proporsional dari Exxon dan Pertamina. Yang drastis adalah pada pola PH: sistem adjusted split diperkenalkan, di mana pihak Indonesia secara keseluruhan memperoleh hasil yang jauh lebih besar ketimbang sebelumnya, yaitu 93.25 persen pada harga minyak saat ini. Kalau toh harga minyak melorot ketingkat sangat rendah, katakanlah USD 30 per barel, kita masih menikmati porsi yang besar, yaitu 86.5 persen. Artinya, perolehan Exxon
berhasil kita turunkan lumayan drastis, dari 20 persen menjadi 6.7-13.5 persen. Itu sebabnya seorang kawan saya yang ahli perminyakan berkata bahwa kesepakatan akhir Blok Cepu adalah salah satu deal terbaik yang pernah ada dalam dunia energi di Indonesia.
Tentu, setelah meraih sukses besar pada dua isu sekaligus (PI dan HP), kita tidak mungkin seenaknya menuntut dengan mutlak pada isu penting lainnya, yaitu operatorship. Kompromi harus dilakukan, sejauh masih dalam batas yang wajar dan mendukung tujuan besar kita untuk kembali menjadi net exporter dan menggunakan hasilnya demi kesejahteraan rakyat.
Pemahaman seperti itulah yang pada akhirnya menelurkan konsep joint operatorship, yang membagi kewenangan operasi secara bertingkat, dengan perwakilan masing-masing pemilik PI secara proporsional dalam menentukan kebijakan besar di lapangan. Dalam prakteknya Exxon yang akan bertindak sebagai manager umum, namun dalam melakukan aktifitasnya harus menyertakan Pertamina.
Dengan semua itu, Pertamina memiliki peluang emas untuk meningkatkan kinerjanya. Perusahaan berplat merah ini akan memperoleh tambahan pendapatan yang besar (perolehan buat Exxon persis sama dengan perolehan buat Pertamina) serta rekan kerja kelas dunia dengan kemampuan teknologi dan finansial yang sulit ditandingi oleh siapa pun saat ini (Exxon adalah perusahaan dunia terbesar). Singkatnya, Pertamina saat ini memperoleh momentum untuk tumbuh lebih baik dengan memanfaatkan peluang yang sekarang terbuka.
Jadi secara keseluruhan, sebagai seseorang yang pernah terlibat dalam Tim Negosiasi, saya merasa bangga bahwa pada akhirnya perundingan yang melelahkan itu dapat berakhir dengan baik dan memuaskan kita. Lima tahun lebih sumberdaya alam kita di Blok Cepu disandera oleh ketidakpastian dan kekaburan prioritas. Kini semua itu telah menjadi bagian masa lalu. Pada
akhirnya kita bisa berkata bahwa kita masih memiliki akal sehat. Mission accomplished.
Kembali ke kalangan penentang yang saya singgung di atas tadi, terus-terang saya agak kesulitan dalam mengikuti alur berpikir mereka. Sebagian dari kalangan ini hanya melihat pada satu isu, yaitu operatorship, tanpa mau mengerti sedikit pun tentang konteks persoalan besar yang melibatkan isu-isu penting lainnya.
Sebagian lainnya hanya berkutat pada isu yang sebenarnya agak diputar-balikkan, yaitu cost-recovery. Seolah-olah dalam soal ini hanya pihak Exxon yang menentukan biaya operasi dan pasti akan terjadi kerugian negara dalam jumlah yang fantastis. Mereka tidak pernah mau mengerti bahwa soalnya tidak semudah itu: dalam mekanisme operasi Pertamina terlibat aktif
serta dalam proses pengawasan biaya akan ada pemeriksaan yang berlapis-lapis.
Namun yang paling lantang terdengar adalah suara-suara nasionalisme sempit dengan sejumlah tuduhan miring, yang seolah membenarkan sebuah ungkapan dari Dr. Samuel Johnson, nationalism is the last refuge of scoundrels.
Terhadap semua itu, saya hanya bisa berkata bahwa Indonesia bisa menjadi bangsa yang besar hanya dengan membuka diri, memanfaatkan kesempatan yang dibuka oleh zaman ini, serta secara kreatif belajar dari mereka yang sudah terlebih dahulu menjadi bangsa yang maju.
Masalahnya bukan terletak pada kebanggaan atau kepercayaan terhadap satu atau beberapa perusahaaan milik negara. Soalnya lebih terletak pada pilihan prioritas dan keberanian untuk memilih.
Lewat negosiasi Blok Cepu, pemerintah telah menetapkan dan memilih prioritas. Hasil yang diharapkan pada akhirnya adalah percepatan peningkatan kesejahteraan rakyat. Jika ini terjadi, di situlah letak kebanggaan kita yang sesungguhnya sebagai sebuah bangsa.
--- End forwarded message ---
13 Comments:
adiknya andi malarangeng, bukan ?
ngawur ya gue ?
Betul Dian,
Dia adiknya Andi Mallarangeng
mas vicky ni mirip (dan mengingatkan saya) dengan pak wangsa (kenal?). kabarnya, beliau juga mau ke malaysia lho mas.
eh, tentang geothermal mas, ada website, blog, dll yang lebih 'detil' bisa kita eksplor?
terima kasih dan salam.
dokumen HoA (Head of Agreement) yang telah diparaf antara pihak Exxon dan Pertamina kayak apa sih??
Pak, Anda mestinya kirim tulisan itu ke Tempo, dan Tempo harus memuatnya sebagai "hak jawab" atas opini Pak Rizal Malarangeng. Salut. Benar-benar membuka wawasan orang seperti saya yang tak tahu apa-apa tentang geologi. Dulu waktu jadi wartawan di Kaltim Post saya beberapa kali wawancara dengan Sutha Vijaya. Kenal, Pak? Beliau geologis di Unocal, sekarang sepertinya ganti nama jadi Chevron. Sekali lagi terima kasih atas tulisan Anda. - Hasan Aspahani, Batam.
-> Pak Hasan,
Wah mengirim ke Tempo ?
Imilnya saja aku ngga tahu, yg tertulis di webnya itu imill palsu dikirimi ya mental.
Btw, Pak Prof Koesoemadinata saja tidak diterima artikelnya di Tempo (entah apa alasannya). Ah aku ini sudak skeptis sama media2 resmi, mreka juga bukan netral lagi.
mas Vicky, mungkin bisa di majalah2 lain, bukan cuma Tempo. Bukannya sekarang banyak majalah2 lain?
Pak Rovicky,
Salam kenal, saya Eko Widi, menyenangi masalah bumi (habis kaya seh).
Sudah lama saya 'mimpi' banyak ahli-ahli sains ---yang jumlahnya cukup banyak di indonesia--- ikut angkat bicara dalam masalah-masalah strategis pembangunan. --mudah-mudahan karena keterbatasan saya saja, kalo-- Sampai saat ini saya baru melihat hanya ahli-ahli ekonomi dan politik saja yang wacana-wacananya meramaikan isu-isu penting di negeri ini, tak terkecuali isu tentang sumber daya alam dan energi yang di dalamnya banyak ahli-ahli sains dan teknology berperan. Lalu di mana ahli-ahli sains dan teknologi ? Mana expresinya .....? (wah keliatan kalo jadi korban iklan he he).
Pak Rovicky, banyak --seingat saya-- kasus dibidang sumberdaya alam dan energy yang meminta sumbangsih pemikiran yang mencerahkan dari ahli kebumian, sbut saja busang, karaha bodas, freeport dan lain-lain (dan cepu tentunnya). Gagasan untuk membumikan ilmu kebumian untuk kesejahteraan pernah tertuang dalam tema pertemuan HAGI-IAGI di Jakarta beberapa tahun lalu. Pasti Pak Rovicky masih ingat 'From the earth to severity ...... (Atas kebaikan teman baik saya yang jadi panitia, saya ikut makan-makan di sana). Saya tidak tahu persis berapa banyak --dari ratusan-- makalah yang tersaji di sana mengurai atau paling tidak meneropong masalah severity dan unity --kalau nggak salah-- sesuai tema-nya. Saya rasa sedikit...... (Kok jadi nggugat gini ya ?)
Pak Rovicky, salah satu argumen kenapa cepu harus ke exxon --kalo nggak salah-- adalah karena merekalah (exxon) yang menemukan cadangan HC besar tersebut. Saya hanya menduga saja, Pak Rovicky --dan geologist atau geophysist indonesia lainnnya-- tersenyum kecut dibuatnya. Mudah-mudahan, informasi adanya cadangan geothermal besar di tangan Pak Rovicky bukan hanya menjadi pleidoi tapi juga bisa membuka lebar-lebar mata (eh terlalu kasar ya ?) ahli-ahli seperti Pak Rizal M. Bukan tidak mungkin --bahkan saya yakin-- bukan hanya Pak Rovicky, tapi banyak lagi explorist2 indonesia sedang dalam posisi strategis serupa.
Pak Rovicky, saya gembira dan berharap 'my dream comes true' untuk surat terbuka Pak Rovicky kepada Pak Rizal M. Saya juga berharap, ke depan (kayak Presiden saja) ada diskusi --polemik juga nggak apa-- menarik dan -- tentu saja-- bermanfaat untuk kasus exxon di cepu antara ekonom,politisi dan teknolog. Hemat saya, sudah saatnya wacana-wacana kebijakan sumberdaya alam dan energy diperkaya dengan unsur teknology --bahkan sains-- yang memadai.
cheer,
Eko Widi
Pak Eko widi, salam kenal juga.
Bahwa yg menemukan itu adalah exxon hanyalah masalah "KLAIM". Namun kalau anda membaca kronologis-nya maka anda akan tahu, bahwa yg menemukan HUMPUSS (miliknya Tommy itu). Namun saat itu sedang genting2nya reformasi sehingga Mobil Oil (ketika itu) menahan pengumumannya hingga ketika sudah yakin secara yuridis bahwa Blok Cepu bakalan menjadi milik Mobil. Bayangkan biaya "menahan" sebuah Drilling Rig di lokasi pemboran hingga setahun untuk menunggu pengumuman "who discover the field" setelah peralihan saham.
Yang jelas lapangan itu sudah diidentifikasi oleh Prof Koesoemadinata (sebagai konsultan HUMPUSS waktu itu). Lihat petanya di
http://rovicky.blogspot.com/2006/02/kasus-cepu-mulailah-dari-evaluasi.html
Salam
rdp
Mas Vicky,
Rizal Malarangeng itu memang terkenal OPORTUNIS semenjak mahasiswa.
Coba sampeyan yanyakan temen seangkatannya di UGM.
Belom lagi moralnya yang hancur, berkumpul kebo dengan bule selagi mahasiswa dulu.
Saya gak gossip...silakan tanyaken ke anak-anak UGM tahun 80-an
memang banyak yg bisa disebut oportunis, bahkan hampir semua politisi. Namun sakjane ya ndak apa-apa kok jadi oportunis dalam arti selalu mengedepankan kesempatan (oportunity). Hanya saja dibelakangnya bisa positip atau negatip.
Aku sendiri melihat pendapat Rizal sebagai pendapat dia apa adanya. Mau oportunis atau "opor ayam" ya itu dibalik pendapatya. Aku sendiri hanya ingin menyampaikan bahwa ada yg kurang pas dalam menyampaikan alasan mengapa memilih ekson.
Bagaimana kalau ke Majalah Saksi
alamtnya kalau belum berubah :
Gedung Kindo Lt. 3 Jl Duren Tiga No 305 Jakarta Selatan 12670
email : saksi@indosat.net.id
Mas, kirim aja artikelnya ke http://hizbut-tahrir.or.id/ beri mereka info
.Begitulah mas, orang2 seperti mereka itu cuman bisa menjual bangsanya sendiri.
sistem kapitalis..!!!
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home