"Survival mode" vs "Productivity mode"
Kalau boleh saya berfikir dichotomy dalam sebuah langkah manusia, ataupun pada sekelompok manusia, bahkan sebuah perusahaan atau sebesar bangsa dan negara, maka akan ada dua "mode" utama. Dua mode ini adalah "survival mode" dan "productivity mode".
Survival mode
Ketika kondisi terpepet manusia akan kembali pada sisi binatangnya yaitu mempertahankan diri. Mempertahankan diri ini tidak selalu karena ada lawan persaingan, namun juga mempertahanan diri dari kepunahan. Yang penting hidup dulu.
Productivity mode
Dalam kondisi yg cukup kondusif, tentunya manusia akan mulai mencoba "berkarya" untuk menjadi manusia yg sempurna. Kreatiftas berjalan, ide bermunculan, akhirnya produktifitas manusia semakin besar.
Ketika melihat sebuah pedebatan tentunya akan ada paling dua pihak yg bertikai atau saling mengadu argumentasi. Nah kalau anda sedikit berpikir dimana orang itu berasal maka akan terlihat apakah dia sedang berlakon menjalankan "survival mode" atau berlakon "productivity mode".
Hal yg paling baru dalam diskusi diantara pengamat energi di milist (IAGI-HAGI-Migas Indonesia) tentunya ketika berdiskusi soal Block Cepu, sangat jelas terlihat dikhotomy ini. Bagi yang menjalankan peran survival mode tentunya akan ngotot berdasarkan keinginan untuk mempertahankan hidup, dengan sedikit concern tentang keekonomian secara utuh. Akan lebih bersifat menggunakan serta menekankan nasionalisme. Tulisan sebelumnya "minder tanda tak mampu" merupakan salah satu bentuk berpikir dengan "survival mode". Walaupun saya berusaha se-netral mungkin. Namun ternyata rasa nasionalisme sayapun tidak lepas begitu saja. Kalau vulgarnya saya ingin menyatakan "This is my country, I have to have control to my property !".
Ketika menjalankan peran "survival mode" biasanya tidak berpikir global paling banter regional atau bahkan lokal, keputusan pikirannya lebih mementingkan diri sendiri. Dalam hal ini bisa saja bukan individual namun atas-nama bangsa sendiri, atau demi kelompok sendiri. Dan ada kecenderungan menganggap lawannya sebagai musuh atau lawan yg harus dikalahkan.
Berbeda dengan kawan-kawan lain yg barangkali menjalankan peran atau lakon "productivity mode" ketika berargumentasi kasus Cepu. Dasar yg dipikirkan adalah bagaimana mengoptimumkan hasil Cepu, berpikir lebih realistis, lebih sering berdasarkan keekonomian. Kenapa keekonomian ? Ya jelas karena dengan mematerialkannya akan lebih mudah mengukur tingkat kesuksesannya. Juga pada "productivity mode" melihat kasus ini sebagai kasus bisnis saja. Faktor belajar dari pengelolaan cepu bukannya diabaikan tetapi dianggap lebih sebagai ekses bukan hal utama.
Tidak ada yg benar dan salah dalam hal menjalankan dua mode ini. Sangat mungkin kedua ini akan dialankan bergantian, atau sangat situasional. Namun tentunya kecenderungan bahwa rakyat Indonesia ini lebih banyak berpikir survival mode sukar ditepis. Apapun alasannya pasti akan sangat masuk akal. Lah wong jumlah yg tersedia sedikit, yg berebut buanyak. Hukum yg berlaku seolah-olah hukum rimba saja, siapa yg kuat yg mengatur. Makanya lelakon "survival mode" menjadi sangat dominan di Indonesia.
Memutuskan siapa yg akan menjadi operator di Block Cepu tentu saja hal yg tidak mudah. Namun kalau saja keputusan itu berdasarkan atas pertimbangan tertentu yg didasarkan atas pertimbangan ilmiah-akademis akan lebih pas. Tentusaja hal ini memerlukan waktu walopun disisi lain juga Indonesia diburu-buru oleh kebutuhan mendesak ....
Nah apapun keputusannya .... kita bisa lihat bagaimana hal itu diputuskan.
Just not "what", but "why" ?
3 Comments:
Sebenarnya kita perlu menguasai sumber energi supaya survive di masa depan. Eh barusan aku coba bikin tulisan pendek soal Geopulitik Migas ini, tapi bahasa Enggres eh, mohon maap blog itu lebih buat latihan menulis dalam bahasa Enggres....kih..kih..kih..:p
Wah aku juga baru tahu juga, ternyata Rizal Malarangeng argumentasinya dari survival mode juga. Karena dia berpikir demi keuntungan adanya makanan didepan hidung.
Laper kaleee.
Walopun jenis keputusannya sama tetapi alasan bisa saja berbeda-beda.
pak dwi, kenapa kalangan geolog tidak pernah membuat or usulan tentang kebijakan energi indonesia seperti amerika dan negara lain, kita compang-camping soal energi ini.
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home