Wednesday, July 20, 2005

Hemat Listrik Siapa targetnya ?

Wednesday, 20 July 2005
Hemat Listrik Siapa targetnya ?
Topic: Energi


By : rdp

Inpres no 10 tahun 2005 baru saja di luncurkan pekan lalu. Penerjemahan inpres inipun menjadi sesuatu kegiatan yg populis dikalangan pejabat pemerintah serta pengusaha swasta. Hampir semua merasa telah melakukan “penghematan”, namun seandainya langkah yang diambil tidak tepat sasaran sangat mungkin yang akan terjadi adalah mengurangi kenikmatan atau bahkan secara tak sengaja menurunkan produktifitas. Tulisan sederhana ini akan mencoba melihat seberapa potensial yang efektif dari gembar-gembor hemat energi ini akan berdampak pada beban penyediaan listrik. Benarkah kebijakan tak berjas ke kantor akan berdampak optimum, benarkah menghilangkan siaran malam hari akan menurunkan beban listrik ?
Ataukah semua itu hanya mencerminkan kepanikan rakyat dan pemerintah ketika sedikit gejolak dunia dengan meningkatnya harga minyak. Lantas apa yg bisa kita pelajari ?

Untuk melihat hal ini, penulis mengamati pemakaian listrik pada`jaringan transmisi Jawa-Bali dipergunakan sebagai basis acuan. Gambar 1 memperlihatkan bahwa Jawa-Bali yg memiliki kapasitas terpasang sekita 19 ribu MW ini merupakan sumbangan 70 % dari daya listrik yg dihasilkan PLN sekitar 25 ribu MW. PLN sendiri menghasilkan dari daya 16ribu MW. Dari daya sekitar 16ribu MW ini yang akan kita lihat bagaimana perilaku pengguna listrik secara umum di Jawa.

Menurut data dari Depertemen ESDM dalam hitungan setara dengan barel minyak sekitar 60rb SBM, maka energi listrik ini hanya kurang dari 10% dari kebutuhan energi total di Indonesia. Kebutuhan energi terbanyak tetap ada pada porsi BBM sebesar 60%. Namun energi listrik yang hanya 10% ini akan sangat mungkin berdampak pada perilaku masyarakat karena hampir semua masyarakat akan berinteraksi dengan listrik dalam kehidupan sehari-harinya. Pendidikan masyarakat tentang hemat energi dengan menggunakan media tentang listrik sangat mungkin memberikan dampak yg lebih efektif dibandingkan dengan metode sosialisasi hemat energi dengan BBM yang hanya menyangkut masyarakat pengguna transportasi. Memang penulis kali ini hanya mengamati kira2 70% saja tentang energi listrik Indonesia. Dengan demikian sangat disadari bahwa pengamatan ini sama sekali bukan ditargetkan pada sebuah hal yg sangat berdampak besar. Namun diharapkan lebih pada ketepatan sasaran.

Gambar. 1. Jenis sumber daya alam pembangkit listrik oleh PLN.Sumber listrik yang diperoleh dari pembangkit di Pulau jawa diperoleh dari berbagai sumber daya alam. Namun terlihat hampir 40% berasal dari minyak bumi. Dan seandainya IPP (Independent Power Producer) juga diasumsikan dengan diesel maka hampir 25% memperoleh listrik dari BBM.


Data-data ini diambil dari database PLN yang tersedia di www.pln.co.id. Data pengamatan penggunaan (beban) listrik diambil selama sepekan mulai tanggal 3 July hingga 10 July 2005. Diharapkan data yang terakhir ini cukup mewakili, dimana pada saat pekan ini tidak ada gejolak pemakaian khusus. Tidak ada hari-hari khusus dalam penggunaan serta kebutuhan listrik dalam waktu pengambilan data ini.

Ada beberapa istilah penting dalam kajian ini yg dibagi sebagai berikut:
- Beban minimum rumah tangga. Adalah beban minimum pada saat tidak ada aktifitas bisnis/industri (hari Minggu di siang hari)
- Beban perkantoran dan bisnis.
- Beban peralatan pabrik. Adalah selisih kegiatan ketika istirahat siang
- Beban penerangan malam hari (lampu pertokoan)
Tentusaja pembagian ini berdasarkan segmen yg sederhana ini hanya didasarkan untuk kemudahan dimengerti sehingga memudahkan penentuan target-tagret penghematan listrik. Sangat disadari bahwa penerangan lampu dimalam hari ini tentunya juga untuk kebutuhan rumah tangga dan bisnis.

Penggunaan listrik dalam sehari.

Grafik penggunaan listrik dalam sehari (gambar.2) memperlihatkan tipikal aktifitas sehari-hari. Terlihat jelas pada waktu jam 00:00 kebutuhan beban cukup rendah. Tentu saja ini bukan hanya menunjukkan lampu lampu penerangan saja, namun juga kebutuhan rutin lainnya.

Gambar 2. Peggunaan listrik pada hari kerja

Kebutuhan beban terendah pada pukul 7 pagi hari diperkirakan karena aktifitas hanyalah melakukan perjalanan menuju tempat bekerja. Kegiatan pagi hari dimulai pada pukul 8 dengan peningkatan hingga pukul 11:00. Kegiatan istirahat siang mengurangi beban sebesar 700-1000MW. Beban puncak di Jawa ini mulai menanjak pada pukul 17:00 dan menurun pada pukul 22:00. Beban puncak ini merupakan beban PLN untuk meyediakan sebesar 14 – 15 ribu MW.

Penentuan target-target penghematan akan sangat jitu seandainya didasari oleh pengamatan perilaku harian ini. Sehingga penerjemahan Inpres no. 10/tahun 2005 ini dapat diterjemahkan dengan tepat sasaran.

Penggunaan listrik dalam sepekan.

Dalam periode satu pekan terlihat pemakaian atau beban terbesar sekitar 14-15 rb MW terjadi pada waktu malam hari di hari kerja. Sedangkan beban terkecil pada siang hari di hari Minggu sebesar kira-kira 8.5 ribu MW. Beban ini lebih kurang merupakan pencerimanan kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Daya sebesar ini masuk dalam kategori "harus" tersedia, dan dapat dianggap merupakan kebutuhan primer saat ini. 8.5 ribu MW ini merupakan 60% dari beban puncak.
Penghematan disegmen dasar ini tentunya akan berdampak sangat signifikan sesuai dengan besarnya angka. Namun tidak mudah menurunkan konsumsi ini. Karena rakyat sudah terbiasa berhemat dengan tarif yg dirasakannya cukup mahal ini.

Beban rata-rata harian di hari kerja minimal 10 ribu MW, atau naik 1.5 ribu MW dari kebutuhan rumah tangga yg tercermin pada hari minggu siang. Ini diperkirakan merupakan beban minimal utk kebutuhan rutin ditambah perkantoran dan bisnis, termasuk AC, lift, lampu eskalator dll. Beban puncak siang hari dicapai pada jam-jam kerja dengan beban total sekitar 12rb MW. Atau bisa dianggap bahwa kebutuhan perkantoran dan bisnis menelan sekitar 3.5rb MW atau sekitar 25% dari beban puncak. Pada tengah hari ketika istirahat siang pukul 12-13 terjadi penurunan beban sebesar 700-1000 MW. Ini merupakan pencerminan berkurangnya penggunaan energi listrik di pabrik atau industri berbasis mesin dengan tenaga listrik. Beban sebesar ini jelas jangan sampai dikurangi terlalu banyak, karena beban energi ini merupakan energi produktif. Penghematan pemanfaatan listrik semestinya bukan pada segmen produktif ini.


Gambar 3. Fluktuasi beban listrik dalam sepekan di Pulau Jawa.

Pengurangan yang dimungkinkan hanya pada sisi bisnis dan perkantoran ini berpotensi dalam penghematan yang besarnya 2500 MW. Di segmen ini mungkin saja akan berdampak mungkin cukup signifikan dalam penghematan beban energi listrik walopun hanya merupakan 18% dari beban maksimum. Beban ini cukup kecil namun karena dalam jangka operasinya 6-7 jam sehari, jumlah potensi energi yang dihemat perlu dihitung dengan lebih detil disesuaikan dengan MWH (Megawat jam). Pemanfaatan AC diduga menelan daya paling besar yg sangat mudah untuk dikurangi. Namun menurut penulis akan ada berdampak negatif disisi produktifitas, karena mengurangi kenyamanan dalam bekerja yg mungkin saja mengurangi semangat bekerja. Salah satu langkah pengehematan segmen ini adalah dengan kecermatan pemilihan alat-alat listrik yg memiliki efisiensi tinggi. Penulis tidak begitu yakin apakah memungkinkan dengan membuat sebuah regulasi pemanfaatan alat hemat energi akan berdampak signifikan.

Pertanyaan lain adalah apakah kalau langkah penghematan di tempat kerja ini berhasil maka mental hemat energi mungkin akan terbawa kerumah masing2 dengan berdampak pada penghematan beban dasar minimal yg cukup besar?. Kalau yg menjadi sasaran itu rakyat kecil, kemungkinan tidak akan berdampak banyak karena tanpa inipun rakyat sudah terbebani dengan tarif yang mahal. Maka berhemat memang sudah tugasnya sehari-hari sejak dulu sebelum adanya isu krisis energi kali ini. Sehingga kemungkinan adanya tambahan dari segmen rakyat bawah kemungkinan kecil, Selain itu juga karena data-data ini diambil sesudah ada himbauan PLN mengurangi lampu 50 wat per rumah akibat krisis pasokan gas pada pembangkit listrik bulan lalu.

Beban listrik lampu malam hari dari pertokoan dan mall.

Kalau dilihat beban penerangan malam terlihat bahwa peningkatan listrik yg merupakan beban puncak ini dimulai pukul 17:00 hingga pukul 22:00, dan terjadi pada setiap hari. Kegiatan yg merupakan kegiatan rutin selama tujuh hari pada jam ini hanyalah pertokoan serta mall, dan mungkin juga papan reklame. Dengan demikian pembatasan pada segmen ini akan berdampak pada tingginya atau besarnya beban puncak yg tentusaja merupakan beban berat buat PLN. Karena kemampuan penyediaan yg akhirnya sangat tinggi ini akan dinilai sebagai tolok ukur kinerja serta kemampuan PLN.

Ketika malam hari listrik jatuh (‘trip’) tentunya beban PLN bertambah dengan menerima keluhan pelanggan. Dan sudah dapat dipastikan PLN akan ngotot untuk menyediakan/ membangun pusat-pusat pembangkit untuk mencegah rapor merahnya. Nah, tentusaja penyediaan mesin pembangkit ini termasuk dalam biaya kapital /modal yg biasanya diperoleh PLN dari hutang. Tentusaja hutang ini akan membebani biaya produksi listrik yang akan dapat dipastikan dibebankan kepada konsumen.

Salah satu cara pengurangan beban puncak diwaktu malam ini adalah pembatasan pada papan reklame. Papan reklame di Jakarta dan Pulau Jawa pada umumnya masih banyak yg menggunakan lampu penerangan yg sangat mahal, dan biaya lampu reklame ini tentusaja nantinya menjadi biaya produksi yg akan ditanggung oleh pemakai produk. Sistem pentarifan listrik untuk kebutuhan ini walaupun menambah penghasilan PLN akan berdampak tidak langsung pada harga produk yg akhirnya ditanggung oleh konsumen. Sehingga target pembatasan penggunaan lampu utk reklame ini harus dilakukan dengan sangat selektif.

Pembatasan lampu penerangan umum bukan merupakan bagian dari pembatasan segmen beban puncak dari pukul 17 hingga 22 ini, karena setelah pukul 22 malam lampu penerangan jalan masih menyala terang. Namun perlu dilihat bahwa pengurangan lampu penerangan jalan tentusaja berkait dengan keamanan atau perasaan aman dari masyarakat. Dengan demikian harus ada usaha tambahan dalam pengamanan yg tentu saja bukan hanya masalah penyedia listrik (PLN) saja.

Dengan demikian terlihat bahwa pentargetan penghematan serta langkah penerjemahan Inpres 10 tahun 2005 ini seharusnya tidak diterjemahkan secara buru-buru yang terkesan panik. Karena kepanikan mengambil langkah reaktif ini akan berdampak langsung pada kepanikan publik.

Perlu diketahui juga bahawa pengamatan perilaku yg ditulisan ini hanya berlaku di Pulau Jawa-Bali. Tiap-tiap daerah akan memiliki karakteristik pengguna yang sangat mungkin berbeda-beda, sehingga perlu diteliti lebih detil lagi untuk mempertajam target sehingga tepat sasaran.

Pengurangan penggunaan listrik misal penyejuk ruangan (AC) yg secara langsung mengurangi kenikmatan ketika sedang bekerja justru akan sangat mungkin mengurangi produktifitas walaupun dipastikan mengurangi penggunaan energi.

Sistem pentarifan harus dilakukan dengan sangat selektif dibarengi pembatasan, cara ini masih mungkin dapat mengurangi beban puncak, namun karena penggunaan listrik merupakan salah satu bagian dari biaya produksi akhirnya akan dibebankan kepada konsumen. Untuk mengetahui hasil usaha penghematan serta melihat efektifitas dari target-target penghematan ini perlu pengamatan lanjutan dalam bulan-bulan mendatang untuk melihat sejauh mana dampak inpres 10 tahun 2005 ini terhadap penghematan penggunaan listrik. Serta dampaknya pada produktifitas.

)* Penulis rovicky@gmail.com