Saturday, May 06, 2006

Mental Profesional : Untuk buruh maupun juragan

Kalau saja statistik itu adalah sesuatu yg bersifat alamiah dan relatif konstant, berapa persen jumlah juragan:buruh rata-rata didunia ini ?
Saya akan sangat yakin bahwa jumlah buruh itu akan jauuuuh lebih besar ketimbang juragan. Ini alamiah dan natural sekali. Juragan akan lebih cenderung leader sedangkan buruh adalah follower, tentu saja jumlah leader akan lebih sedikit dibanding follower.

Negara maju barangkali akan memiliki rasio juragan yg lebih banyak ... ini dugaan saja. Saya tidak punya data. Nah, kalau saja jumlah juragan merupakan tolok ukur kesuksesan, negara mana yg memiliki prosentase juragan paling besar ? Mungkin bisa dijadikan tolok ukur atau benchmark.

Kejadian protes kaum buruh kemarin merupakan kurangnya sikap mental profesional baik si buruh maupun si juragan (investor). Saya sendiri tidak begitu suka dengan pemisahan buruh dan juragan dalam hal ini. Karena permasalahannya bukan sekedar mendudukan dua kutub ini berseberangan atau bahkan bertentangan. Saya lebih cenderung mendudukan mental profesional lebih penting baik sebagai buruh profesional maupun juragan yg profesional.

Moral dan mental professional, baik utk buruh maupun juragan.

Kata professional sering muncul dalam lingkungan kerja maupun organisasi. Tentunya tidak mudah mendefinisikan arti "profesional" ini. Ada beberapa definisi praktis misalnya: Profesional berarti bayaran, seperti petinju profesional, petenis profesional, dsb. Biasanya ini berhubungan dengan olah raga. Namun dalam dunia kerjapun, kata profesional sering rancu, terutama ketika memisahkan antara jenjang manajerial dan jenjang profesional. Padahal diperlukan juga seorang manajer yang profesional, yang benar-benar melakukan pekerjaan menejerial. Secara mudahnya kenapa manajer masih juga memutar sekrup, kenapa manajer masih memegang obeng yang dianggap bukan manajer profesional. Hal sebaliknya kalo berpangkat engineer tentunya bukan ikutan mengatur manusia-manusianya saja.

Selain itu organisasi profesi melihat pula sisi profesi ini dengan memberikan batasan-batasan profesinya, misal dengan kode etik profesi. Dalam dunia kedokteran ada kode etik kedokteran yang dikeluarkan IDI, dalam dunia wartawan ada kode etik jurnalistik juga masih banyak organisasi profesi lain mengeluarkan kode etiknya. Kode etik ini biasanya berkaitan erat dengan aturan prosedur teknis secara profesi sehingga bisa dibuat jenjang-jenjang sertifikasi, misal sertifikat keahlian dasar, menengah, hingga ahli; juga surat ijin praktek kategori A, B, C dst.

Namun saya ingin menuturkan sedikit tentang tinjauan dari sisi moral yang bukan etika teknis. Dari itu semua diatas ada tiga aspek pokok dalam melihat keprofesionalan seseorang, yaitu :
- Profesional secara economy. (bayaran vs amatir)
- Profesional secara hukum. (sertifikasi kode etik dsb)
- Profesional secara moral. (sikap dan konsep diri)

Untuk kali ini saya hanya akan mengulas profesional dari sisi moral/mental dalam tiga hal yang harus dihindari oleh seseorang sehingga menurut saya bisa disbsebut profesional secara moral. Bagamaina sesorang dianggap profesional dari sisi moral ? Menurut hemat saua ada tiga hal pokok yang musti dilakukan/dipegang oleh seorang pekerja profesional, yaitu :
- tidak memaksa,
- tidak mengiba, dan
- tidak berjanji.
Sikap moral profesi ini sangat dikontrol oleh konsep diri seseorang antara lain sikap menghadapi tantangan, cobaan serta hambatan.

1. Tidak memaksa

Seorang yang berjiwa atau bermoral profesional tetunya akan memiliki keahlian teknis yang khusus yang mendukung keprofesionalannya. Dengan demikian dia akan mempunyai kekuatan (`power'). Sehingga dengan 'power' yang dia miliki, dia dapat melakukan tindakan untuk menekan pihak lain. Misal pekerja menekan manajernya utuk meminta kenaikan gaji, karena tahu dialah satu-satunya staf ahli di perusahaan itu. Kalo tidak diluluskan mengancam akan keluar dari perusahaan. Tindakan pemaksaan ini menurut hemat saya adalah tindakan yang tidak memeliki moral profesional. Hal yang sama seandainya seorang manajer yang melakukan penekanan kepada anak buahnya untuk menerima upah berapapun yang diberikan, karena diketahui betapa sulitnya mencari kerja saat ini.
Dalam interaksi pekerja dan yang mempekerjakan (employee - employer) selalu muncul kesepakan sebelum dimulainya pekerjaan. Seandainya ada salah satu diantara kedua pihak merasa ada yang merasa terpaksa melakukan atau mengikuti aturan kerja maka kemungkinan besar ada sesuatu yang tidak profesional dalam menangani perjanjian kerja ini.

Akan sangat bagus sebelum dimulainya pekerjaan manajer menanyakan bagaimana kesanggupan anak buahnya Demikian juga anak buah menanyakan apakah hasilnya dapat diterima oleh atasannya.

2. Tidak mengiba

Pada saat-saat tertentu kesulitan atau hambatan muncul baik dipihak pekerja maupun perusahaan. Krisis ekonomi saat lalu (soalnya saya yakin saat ini sudah mulai tahap penyembuhan) banyak mengakibatkan kesulitan dikedua pihak. Pihak perusahaan akan sangat kesulitan mengelola perusahaan, dilain pihak pekerja atau karyawan juga mengalami hal yang sama dalam kehidupan sehari-harinya. Sering kita dengar ada perusahaan yang yang dengan mengiba datang ke Depnaker utk melakukan PHK massal, untuk dinyatakan bangkrut/ pailit. Atau juga seorang karyawan yang datang ke manajernya memohon untuk tidak di PHK karena anaknya masih kecil. Ada saat seperti ini, moral keprofesionalan pekerja dan penilik perusahaan (biasanya diwakili manajernya) mengalami ujian dalam menghadapi tantangan hidup.
Tentunya tidak bisa hanya dengan mengiba untuk mengahdapi kesulitan ini, dan tentunya tindakan mengiba ini bukan moral yang professional.

3. Tidak berjanji

Satu sikap moral professional dalam menghadapi apapun yang telah, sedang dan bakal terjadi juga hal yang harus diperhatikan. Sikap ihlas dalam menghadapi keberhasilan maupun kegagalan merupakan sikap professional yang ketiga. Berjanji merupakan tindakan yang mungkin sekali menjadikan kita melanggar dua sikap moral sebelumnya yang disebutan diatas. Karena kegagalan maka akan muncul pemaksaan atau mengiba dari salah satu pihak, atau bahkan kedua pihak. Sehingga kesiapan menerima apapun yang bakan terjadi merupakan sikap moral profesi yang dibutuhkan.

Program kerja saat ini banyak sekali mempunyai tuntutan, target produksi, target penjualan, serta target target perusahaan lainnya hendaknya bukan merupakan janji yang harus dipenuhi melainkan merupakan sebagai pemicu semata, sebagai 'alat ukur performance' yang bukan merupakan harga mati baik untuk kedua pihak.

Nah dari sikap moral professional diatas, kita dapat melihat sejauh mana keprofesionalan kita, perusahaan, manajer, pemegang pimpinan organisasi serta anggota organisasi profesi maupun anggota partai sekalipun dalam bersikap profesional.


Have a nice day

Rovicky Dwi Putrohari

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home