Monday, May 29, 2006

Daerah itu terlepas dari pengamatan


Gempa Yogyakarta menelan korban lebih dari 4000 nyawa manusia. Peristiwa ini sangat mengagetkan dan menggegerkan siapa saja. Bagaimana tidak, ketika semua mata tertuju pada Merapi yag sedang bergejolak tiba-tiba sebuah daerah patahan (fault/rupture zone) bergetar dengan kekuatan 6.3 Skala Richter dengan kedalaman 10 Km (USGS) dengan daya rusak 6 hingga 7 skala MMI.

Zona patahan penyebab gempa.

Zona patahan (fault zone) ini sebenarnya sudah lama diketahui dan dipetakan oleh ahli-ahli geologi. Lembar peta yogyakarta yang diperbaharui dari peta-peta sebelumnya oleh Wartono (1995) juga sudah memetakan zona patahan ini. Hampir semua mahasiswa geologi di Yogyakarta mengenali patahan ini. Patahan ini memisahkan dataran tinggi Wonosari yg bagian teratasnya terdiri atas singkapan Batugamping Wonosari dengan dataran landai Yogyakarta yg merupakan kaki Gunung Merapi.

Mengapa pengamatan kita terlepas ?

Daerah ini sebelumnya dikenal daerah dikenal "aman" terhadap gempa bumi. Bahkan peta geologi teknik yg terbitkan oleh DGTL juga tidak menyebutkan bahya gempa ini. http://www.dgtl.esdm.go.id/peta_web/GT_YOGYA.html Bahaya-bahaya yg disebutkan dalam peta itu adalah bahaya lkebencanaan geologi yang meliputi: bahaya letusan dan aliran lahar gunung Merapi, potensi lempung mengembang, dan kerentanan terhadap kejadian longsoran. Bencana bencana lain seolah terlewat dalam pemikiran.

Peta Geologi daerah Jogja dibawah ini memperlihatkan Patahan yang memotong Sungai Opak. (Trimakasih Kepada Deny-ETTI yg memberikan peta geologi ini)


Selama ini belum ada catatan sejarah dari gempa tektonik yang merusak di Yogyakarta. Sehingga bencana yg berhubungan dengan aktifitas Gunung Merapi lebih menyita perhatian dibandingkan bencana gempa. Gunung Merapi sangat sering menunjukkan aktifitasnya, bahkan menjadi sebuah Gunung Api teraktif di dunia. Ketiadaan catatan khusus mengenai gempa ini mungkin beberapa gempa yg terjadi dimasa lalu selalu dikaitkan dengan kegiatan Merapi, sehingga kebencanaan gempa di Yogyakarta tertutupi (overlooked).

(catatan : 2 hari setelah saya tulis ini bermunculan info gempa masalalu di Jogjakarta, termasuk yg sangat besar di tahun 1867, namun tentusaja tidak ada yg memperkirakan itu gempa tektonik, karena teori tektonik baru muncul setengah abad yang lalu). Namun adanyanya bangunan berusia lebih dr 300 tahun yg ikut ambrol kali ini menunjukkan gempa waktu itu "mungkin" tidak sebesar sekarang).
Banyak bangunan-bangunan tua (lebih dari 300 tahun) yg berada di KotaGede serta Surakarta yang ikut roboh. Disini ada dua hal yg perlu diketahui, yaitu : bangunan tersebut barangkali memang sudah tua dan rapuh, dan yang kedua selama 350 tahun terakhir memang tidak tercatat adanya gempa tektonik besar yang merusak. Dan barangkali inilah pertanda mengapa kewaspadaan bahaya gempa tidak tercatat di daerah ini.

Ada satu pelajaran baru buat kita semua, tentusaja.
  • Sebuah patahan yg diperkirakan pasif (nonaktif) sangat mungkin menjadi aktif karena trigger-triger tertentu, mungkin saja Patahan Opak ini terpicu oleh aktifitas Gunung Merapi, atau juga saling mempengaruhi. Bahaya bencana alam dapat terjadi dimana-mana dan tidak disangka-sangka.
  • Perlu perubahan carapandang suatu daerah dengan memperhatikan potential desaster tidak hanya berdasarkan catatan sejarah (tertulis). Banyak rekaman-rekaman geologi yg harus dipelajari seperti rekaman gempa yg ada di batugamping terumbu yg usianya dalam jangka ribuan tahun.
  • Adanya beberapa patahan-patahan pasif yang paralel dan berpasangan dengan Patahan Opak ini yg perlu diperhatikan, misal Patahan Grindulu yg membentang sejajar dengan Patahan Opak dari daerah Pacitan kearah Timur-laut. Kajian sejarah kegempaan yang terekam dalam tanah berusia ribuan tahun sepangang sungai grindulu barangkali dapat membantu memerikan periodisasi kegempaan di daerah ini.
Pak SBY tentunya sangat kenal dengan nama Grindulu ini, semoga beliau tergugah untuk memberikan perhatian kepada kebencanaan di Indonesia. Saya ingat sekali beliau sangat konsen dengan bencana Aceh, namun perasaan saya konsen beliau masih sebatas "relief" pasca bencana. Kebutuhan mitigasi bencana seharusnya dimulai dengan sejak penelitian ilmiah jauh sebelum bencana yg terduga terjadi.

Masih banyak PeeR yang harus kita lakukan bersama.
(foto : Sungai Grindulu sumber www.eastjava.com/books/mystery/html/pacitan1.html)

2 Comments:

At 5/30/2006 02:27:00 AM , Blogger Unknown said...

I noticed your blog because I was searching for the term DWI In New York, it means "driving while intoxicated", and I defend people who are accused of it. I'm guessing Dwi is a somewhat common name in Indonesia??

NY DWI Lawyer Warren Redlich

 
At 5/30/2006 05:44:00 PM , Blogger Rovicky Dwi Putrohari said...

Yep,
"Dwi" means second in javanese name

 

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home